Setelah usai aku mengirim tulisan terbaru ke Kompasiana "Jadilah Dirimu Sendiri", memori tidak berhenti terisi oleh sosok Ibuku sendiri. Dia bukan Ibu Negara yang mulia dan punya nama.. Dia bukan selebriti yang pantas disusunkan kata kata pujaan. Tetapi dia ibuku sendiri.
Dialah awal kehidupanku. Bahkan sebelum ayah memberikan nama padaku, ibuku sudah berbulan-bulan mendekapku dalam rahimnya. Diberinya aku bentuk dan tenaga dari tubuhnya pula. Disalurkan olehnya rasa dan cinta dari hatinya untuk kuhayati kutumbuhkan dan kujiwai hingga kini.
Ibu itu pergi meninggalkan kami ke rumah Bapanya selamanya 60 tahun yang lalu. Memang tiga hari sebelumnya aku pamit meninggalkan dia dirumah untuk merantau menelusuri jalan peziarahan mencari jati diriku sendiri.Â
Tetapi Ibu sempat berpesan, kau nanti harus pulang temani bapakmu dan jagai rumah ini. Entah mengapa pesan itu terucapkan. Sepuluh tahun sesudahnya baru pesan itu kulaksanakan.
Ibu itu meninggalkan kesan abadi di sanubari ini. Â
Ibu itu teladan menghormati dan setia pada suami
Ibu itu teladan dalam segala keadaan tak mengenal lelah menyerah.
Ibu itu perempuan terhormat dan ibu yang selalu bahagia.
Ibu itu buku pelajaran kehidupanku :
Menghargai dan menghormati perempuan.
Menanam dan memupuk nilai-nilai kepada anak.
Melihat dan mensyukuri kesetiaan isteri.
Memang aku anak Ibu. Deo Gratias. Puji Tuhan.
Ganjuran, September 23 2020. Emmanuel Astokodatu