Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Agama sebagai Tata Nilai Sosial

16 September 2020   16:12 Diperbarui: 16 September 2020   16:20 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum wafatnya Bapak Jakob Oetama, Kompasiana mengajak menulis tentang perselingkuhan dan keprihatinan terhadap keluarga. Saya mencatat sebuah berita yang plastis eksplisit membenarkan keprihatianan itu. Ustad JeJe minta dai reformasi materi dakwah keluarga.

Ia mengungkapkan sebenarnya kerapuhan keluarga Muslim sudah sangat luas berdampak pada moral sosial masyarakat, seperti meningkatnya anak jalanan, kerusakan moral di kalangan anak-anak, narkoba, dan perilaku hidup yang buruk dan tidak sehat.

Jadi bukan hanya soal tingginya kasus perceraian yang berdampak luas kepada nasib pendidikan dan masa depan anak anak Muslim semata. (msn.com)

Belum lepas dari rasa ikut kehilangannya tokoh pendiri Kompas saya membaca sebuah artikel di sini dari seorang Adrian Diarto, yang saya kenal. Bahasa artikel itu indah. Setelah memaparkan peristiwa tentang Bp. Jakob Oetama dengan beberapa tokoh sahabat dekatnya dia menutup diakhir artikel itu yang kupahami sbg berikut ini:

Agama adalah tata nilai yang mengajak refleksi, self-dialog tentang kemanusiaan. Kemanusiaan dipertemukan dengan realitas-realitas menjadi Solidarisme sebagai perwujutannya.  Itu buah pendalaman yang matang "di contohkan oleh Bacharudin Jusuf Habibie - YB Mangunwijaya, Emha Ainun Nadjib - Darmanto Jatman serta Abdul Malik Fadjar -dan  Jakob Oetama. Sebab Mereka mengonstruksi buah-buah keheningan yang dipertemukan dengan realitas-realitas humanisme menjadi sewujud solidaritas." (kompasiana.com/diart)

Pada halaman bawah artikel itu ada rekomendasi untuk membaca sebuah artikel. Ketika saya klik, saya temukan tulisan dengan tema "Beberapa Pandangan Al-Quran dst", di sini: isadanislam.org

Disebut di sana ada 4 kutipan (Qs 2.62; Qs 5.82; Qs 10.94;Qs 57.27) Dijabarkan dalam 5 butir kwalitas sebagai berikut:

Satu, Orang yang akan menerima pahala

Dua,  Orang yang tidak khawatir dan tidak bersedih hati

Tiga, Orang beriman dan rendah hati /tidak menyombongkan diri

Empat, Orang yang mengetahui kebenaran

Lima,  Orang yang santun dan penuh kasih sayang

Saya bukan ustad, bukan pendeta, bukan pastur, saya hanya perenung suka merenung. Penilaian di atas saya baca seperti kata bijak dan keagamaan yang harus saya refleksi, kaji dan pertemukan dengan realitas-realitas. Seperti itu juga Penulis Adrian melihat para tokoh tersebut di atas telah membuat refleksi-refleksi pendalaman.  

Maka saya bersitegas bahwa saya bukan menafsir suatu alkitab tetapi saya mencoba menangkap ungkapan-ungkapan dari sumber bacaan terkutip. Nilai itu nilai moral sosial, dan mewujudkan tata nilai yang saya renungi dan dicatat di sini untuk berbagi.

Jadi sambil menghitung beberapa butir nilai nilai dari masukan di atas, yang mau saya tata dalam penghayatan saya dengan refleksi saya mulai saja dulu Refleksi itu sendiri.

Refleksi (1) pada umumnya adalah upaya subyektif untuk meretas realitas mengarah dan untuk membuat sikap terhadap suatu hal dan niat atau perilaku kedepannya. Dalam proses rasanan, selftalk, dialog diri yang subyektif itu sudah barang tentu dilalui titik titik penemuan diri.

Pelbagai unsur pada penemuan diri, seperti: motivasi, kreativitas, keberanian mengambil resiko, keberanian untuk perubahan, untuk mengambil keputusan ketekunan dan hati yang belajar melihat positip kedepan. Dan begitu kita sadari Panggilan hidup kita.

Memperkuat refleksi sebaiknya kita tidak melepaskan realitas penopang penolong seperti temuan keilmuan, hukum, dan relasi sosial melalui bacaan, konsultasi, dan lainnya. Akan tetapi sikap taat azas dan keimanan adalah sandaran yang paling baik. Sebab dengan terang iman manusia diteguhkan dengan keyakinan akan Ridlo Tuhan.

Melalui refleksi itu juga sebenarnya dengan sendirinya menemukan bahwa sedemikian besar sedemikian mulia nilai kita sebagai manusia. Manusia kita kita ini dapat dengan bebas luas mengalami realita, bebas menentukan diri ditengah pelbagai realita, bebas mampu mengambil keputusan dan menjadi dirinya sendiri.

Itulah Kemanusiaan (2)yang dihayati dengan refleksi yang mendalam, tulis Ardian itu. Kemanusiaan sebagai visi falsafah pendidikan yang mementingkan nilai manusia sering di sebut humaniora. 

Maka juga Kompasiana mengelompokkan wawasan kemanusiaan ini dengan istilah itu, dan meliputi antasa lain, filsafat, sosbud, pendidikan, bahasa, dan dahulu juga agama. Dan saya pernah dengar kesaksian Bp.Yo dalam memilih wartawannya memberi nilai plus untuk yang memiliki kesadaran tinggi terhadap nilai kemanusiaan.

Nilai manusia (kemanusiaan) menjadi lebih disadari ketika manusia menyadari bahwa dirinya itu berada ditengah manusia sesamanya. Manusia tidak sendiri. Manusia itu ada bagi sesamanya. Itu gagasan pokok Prof.Dr.N.Driyarkoro SJ (1913-1967).

Tetapi sejarah juga membuktikan bahwa tercetusnya pertama kali pemikiran pengembangan kemanusiaan dengan gagasan mulia Solidaritas atau Kesetyakawanan itu ketika ada permasalahan serius hubungan buruh dan majikan dijaman meluasnya industrialisasi di Perancis dan Eropa pada umumnya ada abad 18. Pemuka Agama menegaskan menyiarkan bahwa Solidaritas adalah perwujutan sosial dari salah satu tiang ajaran agamanya menjawab tantangan zaman. Majikan harus setia kawan terhadap buruh sebagai partner kerja dengan berbagi keuntungan bukan hanya gaji yang sudah menjadi haknya. (Rerum Novarum 1880)

Kembali pada abad 19  didengungkan kesetiakawanan  dengan "theologi Solidaritas" sehubungan peristiwa-peristiwa di Amerka Tengah, seperti Elsavador, Nikaragua, Guatemala. Yang penuh dengan penindasan dan kemiskinan. Solidaritas adalah cintakasih sesama yang mampu menggerakan kaki tangan hati bantuan dan pengorbanan banyak pihak. Solidaritas disana justru ada yang memaknai sebagai Karya Allah menggerakkan Kemanusiaan.(Jon.Sobrino SJ cs1989)

Solidaritas(3) yang adalah kesetiakawanan atau belarasa, ditemani oleh Subsidiaritas. Subsidiaritas adalah prinsip dalam perbantuan: Yang kuat membantu yang lemah sampai sejauh yang lemah itu sudah layak kuat untuk bangkit.

Apabila melalui refleksi ditemukan nilai kemanusiaan yang merupakan dasar solidaritas, dan solidaritas juga kelanjutan dari cinta kasih, tidak mengherankan apabila para pemuka agama menjadi peduli terhadap topik permenungan ini. Baik Islam, Nasrani, Kristiani, Hindu dan Budha dengan menyadari realita kemanusiaannya dalam refleksi mereka melihat semua itu sebagai kebenaran, ada dan berada dalam kehidupan bersama kita.

Berangkat dari melihat dan "mengetahui kebenaran" (4) biasanya orang memang menjadi rendah hati serta santun terhadap sesamanya yang sama-sama manusianya. Mengetahui kebenaran terlebih terhadap nilai kemanusiaan yang luhur pastilah pada hakekatnya semua orang pantas mendapat pahala. Pahala, saya pahami sebagai buah kehidupan ini dalam relasinya dengan Tuhan menurut Agama. Apalagi bila direnungkan bersama dalam Agama Cinta Kasih. (5)

Cinta kasih yang dipertemukan dengan realita-realita terburukpun seperti ketegangan sosial, penganiayaan, bencana apapun membuahkan optimisme, ketidak kewatiran serta kepasrahan bersandar pada keimanan

Maka tidak perlu diulang refleksi agama disini dengan tanpa membuka ajaran dan Alkitab mana pun. Tetapi realita para pemuka Agama dan Masyarakat membuktikan bahwa Agama selayaknya menjadi sandaran Moral Sosial kita. Karena juga Agama bisa memberi tempat bahkan sinar terang iman terhadap kemanusiaan (humanisme beriman)

Seperti itu ditegaskan oleh Kepala Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) Kementerian Agama, Nuruddin dengan mengatakan, nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan bukanlah sesuatu  yang dikotomis; bahwa agama dan budaya bukanlah dua kutup yang berbeda, tapi merupakan dua hal yang bisa saling mendukung terkait pengembangan nilai-nilai kegamaan dan nilai-nilai kebangsaan. (msn.com)

Demikian permenungan singkat saya yang bisa saya catat untuk berbagi. Tolong terima permintaan maaf saya bila ada yang tidak berkenan dan tolong pula terima salam hormat saya.

Ganjuran, September,16, 2020. Emmanuel Astokodatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun