Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wong Cilik dan Kerendahan Hati

25 Juni 2020   15:30 Diperbarui: 25 Juni 2020   15:34 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengertian saya tentang Wong Cilik saya ambil dari ingatan akan pengalaman aktif dikancah politik tahun 1993. Tahun itu tergabung diantaranya lima partai politik dalam fusinya dengan bendera Partai Demokrasi Indonesia. 

Dari saat itu saya mengenal apa artinya wong cilik. Wong cilik bukan orang besar. Dalam setiap komunitas,jenis-jenis kelompok masyarakat, ada orang besar dan ada orang yang pantas disebut wong cilik. Wong cilik adalah mereka yang jauh dari kesempatan dan kewenangan mengambil keputusan dalam dan bagi komunitasnya..

Maka setiap partai politik memperebutkan wong cilik, sebab dalam Pemilu setiap warga negara dari yang bodoh, yang jahat, yang cacat, yang pelacur, yang pikun,yang penakut pun berkempatan mengambil keputusan untuk memilih.

Dalam komunitas Rukun Tetangga (RT) saya, ada seorang warga, pak Sur,berizasah SMP, profesi tukang becak, orangnya peramah, terbuka suka menolong, banyak teman. Dan ada seorang warga, pak Kar, berizasah SMA, profesi karyawan pabrik kerupuk diluar desa kami, berangkat kerja jam enam pagi, pulang jam lima sore. Pak Kar orangnya agak sombong, kurang bergaul, malas bergotong royong.  

Pak Kar jarang terdengar suaranya dalam komunitas RT kami, lain dengan Pak Sur, dia sering memperdengarkan dan didengarkan suaranya dalam Rembug Warga. Pak Sur menjadi dekat dengan Bpk.Ketua dan pengurus RT, dan ikut menjadi Wong Gede RT, sementara pak Kar adalah golongan Wong Cilik.

Dalam lingkup RT kami masih ada beberapa orang terpandang dimata para tetangga yaitu : seorang mantan guru SMA, dua orang guru SMA, dan seorang PNS yang hanya seminggu sekali pulang kerumahnya di RT itu. Mereka ini tidak pernah dilibatkan dalam rembug RT, hanya diberi undangan bila ada acara yang penting. Mereka itu memang tidak layak disebut wong cilik tetapi mereka sendiri sepertinya tidak cukup peduli pada masalah masalah kehidupan RT. 

Dikarenakan mungkin oleh kesibukan mereka atau memang oleh kondisi kejiwaan orangnya. Mereka ini sudah merasa besar dalam komunitasnya sendiri dilain tempat,sehingga tidak peduli dianggap golongan wong cilik yang tidak selalu diperhitungkan di kampungnya.

Maka dapat dipertanyakannya sebenarnya haruskah wong cilik itu selalu dinilai rendah.(?) Dan kapan waktunya golongan wong cilik itu dihapus saja dalam tata kemasyarakatan kita.(?)

Dari wong terpandang yang direndahkan dan tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan rembug desa di RT kami itu sebenarnya tersimpul suatu sikap rendah hati juga. Mereka sanggup merendah hati. Dalam pandangan mereka nilai dan kebesaran seseorang tidak hanya terletak ketika orang itu diminta pendapatnya, diminta persetujuannya, tetapi dalam berkomitmen sesuai dengan kapasitasnya untuk baiknya hidup bersama.

Jadi sebenarnya menjadi wong cilik atau wong gede selain ada unsur situasi lingkungan sosial tetapi juga ada unsur kemauan hasrat seseorang yang berpangkal pada martabat kemanusiaan yang bisa disadari setiap orang.

Didesa saya ada seorang yang mendapat "gelar" dibelakang namanya sebutan SEWU, artinya seribu, pak Pawiro Sewu. Karena kesombongannya dimanapun dia selalu memberi penawaran harga tertinggi Aku berani Seribu! Sejenis orang itu ada lagi seorang warga yang dalam percakapannya ujung-ujungnya bercerita tentang anaknya, adiknya, keluarganya adalah orang besar, pejabat ini pejabat itu. Itupun sejenis saja dengan adik kecil saya yang tidak mau diantar kesekolah sampai depan pintu sekolah. Dia bilang malu didepan teman-teman masih dianggap anak kecil. Kakak saya bilang "Cah kemlinthi" artinya "lagaknya besar",biar kecil tapi sombong.

Jadi sebenarnya seperti sikap beberapa gelintir orang terpandang di RT saya yang memilih menjadi wong cilik, mereka mereka itu berkesempatan menunjukkan sikap yang tidak sombong tetapi rendah hati.

Rendah hati itu bukan rendah diri, yang dalam bahasa asing terdengar disebut : minderheid. Rendah diri adalah rasa kurang mampu, kurang cukup percaya diri untuk berdiri menghadapi sesuatu yang menantang.

Sebaliknya rendah hati itu sikap tidak sombong, tetapi tahu diri, siap dihandalkan ketika harus menghadapi setiap tantangan. Dan menghadapi sesama manusia bersikap cenderung menghormati dan menghargai.

Ayah saya menceritakan tentang dua orang guru dizamannya. Guru yang seorang disegani orang tua murid dengan rasa hormat karena sikapnya yang santun ramah dan menghargai ortu murid semua saja. Guru yang seorang sama santunnya tetapi berkesan memandang rendah ortu murid yang miskin. Apalagi guru ini ketahuan oleh para ortu murid dia mengaku diri sebagai kepala sekolah.

Diceritakan pula oleh ayah tokoh-tokoh yang pantas dihormati pada zamannya. Salah satu diantaranya tokoh yang rendah hati karena dia menyadari statusnya sebagai hamba raja di kerajaan Mataram yang bertugas dibidang kejaksaan. Punya Rasa tahu-diri sebagai hamba raja, tetapi harus sadar dia hamba dibidang hukum. Kebenaran harus ditegakkan. Meskipun disaat itu (kata ayah saya) kebenaran dan hukum adalah Sabda Raja, tetapi sikap dasar itu harus menjadi kesadarannya..

Berfikir akan situasi Kerajaan dizamannya, membuat saya teringat akan khotbah Bapak Ignatius Kardinal Suharyo beberapa minggu y.l. Dia mengatakan Kedatangan Kerajaan Allah yang didoakan harapkan dalam doa itu ditandai apabila harkat martabat manusia dihargai, ciptaan Tuhan dipelihara lestari. Dihadapan Jaksa Agung diakhir zaman harkat dan martabat manusia sama, hanya nilai yang kita tuai tentu sesuai apa yang kita tanam. Tuhanpun akan memperhitungkan martabat manusia yang harus menanam kebaikan.

Setelah berbicara tentang Martabat manusia dihadapan Tuhan dan Sesama tidak ada lagi argumen motivasi lainnya, selain kita mengharap saja akan adanya penghayatan nilai nilai hakiki itu melalui edukasi sosial dan edukasi diri. 

Tidak menjadi penting menjadi orang golongan wong cilik atau wong gede, ketika setiap manusia dihargai dan diperhitungkan dikarenakan martabat hakikinya dan iktikat baiknya. Bukan kekuasaan tetapi nilai nilai kebaikan hidup bersama harus diedukasikan

Demikian sekedar permenungan saya ketika nyaman-nyaman saja dirumahkan. Mohon dimaafkan bila ada kesalahan yg mengganggu. Tolong terima salam hormat saya. .

Ganjuran, Juni,25, 2020. Emmanuel Astokodatu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun