Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesiapan untuk Berubah Dinamika Budaya

5 Juni 2020   14:06 Diperbarui: 5 Juni 2020   14:17 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lansia seperti kami yang telah merambah usia kepala delapan bisa siap untuk berubah, tetapi hari dan tanggal saja sering lupa, bagaimana bisa ingat apa yang harus diubah. Kebiasaan menjadi andalannya dan mungkin sikap cuek menjadi simpul kedamaiannya.

Beda dengan Jendral Doni Permana Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 atau Achmad Yurianto cendela info resmi yang setiap saat setiap hari siap dan teliti peduli hingga pada angka sekecil manapun dengan semua yang terkait dengan angka itu. Para politisi "yang" tiada hari tanpa mencari peluang membuat berita "good news".

Kesiapan mengandaikan sekaligus adanya kepedulian. Peduli terhadap latar belakang maupun dampak peristiwa atau permasalahan. Siap menghadapi perubahan dan siap untuk berubah.  Pertanyaannya adalah haruskah semua orang siap dan peduli.(?) Dan itu merupakan keharusan dan tanggung jawab ?  Marilah sedikit kita renungkan sambil mengingat saat ini demikian mudahnya kita terima informasi mulai dari hoack hingga hasil penelitian dan kajian ilmiah..

Dinamika budaya bisa kita gunakan pengertian dari para budayawan kita. Ki Hajar Dewantara memberikan cakupan ini : "Kebudayaan merupakan buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat" Dan yang lain Koentjaraningrat memberi ini "Budaya adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar".(Google)

Saya disini merasa cukup mengambil kata yang jauh bermakna komprehensip dengan tiga kata ini : Belajar, Milik diri, Bermasyarakat. Dengan belajar sudah mencakup proses, waktu dan dinamika, dengan menyebut milik diri meliputi harkat manusia yang pribadi bermartabat lengkap, dan dengan bermasyarakat menunjuk sifat manusia sosial mulai dari berrelasi terkecil hingga negara dan antar negara.

Belajar melalui media tv saya ingin menarik perhatian anda kepada GTV dengan acaranya "Uang-Kaget" dan "Bedah-Rumah" sebagai ilustrasi yang indah untuk bahasan saya ini. Dua acara itu biasa tertayang pada kurang lebih setelah jam 20.00. berturutan. Keluarga saya suka menontonnya bila tidak ada acara keluarga yang lain. Dan itu sudah lama, mungkin sudah selama ada Covid 19, berarti sudah berjalan sekitar 3 bulan. Hampir tidak ada hari tanpa Uang Kaget dan Bedah Rumah.

Isi pokok acara tayangan itu GTV memberi sajian Karya Sosial Membuat Bahagia sasaran,  dengan memberikan uang 12 juta kepada orang pilihannya di "Uang Kaget". Dan pada acara Bedah Rumah memberikan rumah tinggal layak (lengkap : rang tamu, ruang makan, ruang tidur semua anggota keluarga, toilet, perabot rumah lengkap, TV, kipas angin, kompor gas)  Skenario tayangan meliputi : persiapan/dialog, pelaksanaan, dialog evaluasi. Sasaran terekspose adalah orang berkwalitas moral tetapi miskin, kurang sekali penghasilannya dan berkebiasaan sangat sederhana. Ada sasaran yang dirumahnya tidak ada kamar mandi/WC, tidak kompor, tidak meja makan..

Acara itu suatu cermin memberi peluang orang untuk mengalami perubahan kebiasaan hidup rumah tangga. Yang bisa adil dikatakan hanyalah apa yang sejauh ditayangkan. Masih boleh ditanyakan tentang semua kebijakan dan tindakan sebelum dan sesudah tayangan dari penanggung jawab peristiwa tertayang atau GTV..

Maka secara positip boleh saya sebut nilai untuk pendidikan, perubahan gaya hidup, promosi besar kepedulian sosial  Secara negatip : "Kerumunan orang" , atau itu acara praCorona, kalau begitu sebagai berita tidak pas kebenarannya selain demi show. Dikatakan setiap hari ada satu rumah dibangun untuk kebahagiaan. Itu juga bisa jadi kebohongan. Yang bisa dipertanyakan pula adalah penanganan kelanjutan mengingat merubah gaya hidup bukan semudah memberi uang. Kita tidak yakin untuk sasaran tertentu perubahan yang dialami berkat rumah barunya justru merusak pola pikirnya terlebih bagi yang usia kritis.

Di daerah Yogyakarta mulai tahun 1919 Keluarga Belanda mendirikan sekolah 12 lokal dan sebuah asrama putri bagi orang "pribumi" diwilayah sekitar 5 kecamatan sekarang. Orang Belanda itu dari th 1864 sudah mendirikan pabrik gula dan merasa orang Jawa tidak bisa sejahtera dan perempuan tidak akan dewasa matang bermartabat,tanpa pendidikan dan mengubah tradisi keluarga.

Kita melihat sekarang ini ada upaya dan usaha pembaharuan kebiasaan dengan persiapan seru seperti kita "rayakan" dengan kata Normal Baru. (New Normal)  Tetapi banyak pengamat merasa Norma Baru itu belum siap. Diantaranya pengamat politik Ari Nurcahyo menilai wacana yang dibangun pemerintah dalam menghadapi wabah Covid-19, termasuk new normal, bertolak belakang dengan implementasi kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun