Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kata Belanda, Orang Jawa Malas

11 Agustus 2018   08:16 Diperbarui: 11 Agustus 2018   09:37 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya lahir akhir zaman penjajahan Belanda, saat masih kecil sempat saya melihat buku bacaan yang memuat gambar gambar perempuan dan lelaki yang dinilai penulis sebagai orang Jawa yang malas. 

Lelaki duduk dipinggir jalan, perempuan pada mencari kutu rambutnya (petan). Dan semua diberi judul "Luie Javaans". Dilain halaman orang memelihara burung perkutut, dan orang Bali membawa ayam aduan ....Menyakitkan hati saya. 

Tetapi sebelum mereaksi itu sekarang dan membuat pernyataan serta pertanyaan balik, kita bertanya dulu pada diri kita pernahkah anda merefleksi sebenarnya kemalasan kita sendiri masing-masing ? 

Dengan refleksi kita bisa lebih paham, bagaimana kemalasan itu, kapan kita malas, mengapa malas, sehingga kita juga melihat kadar dan ukuran kemalasan kita. Bahkan saya ingin bertanya: adakah hubungan malas dengan kebebasan dan kemerdekaan. Juga sebelumnya sebaiknya dipahami bedanya: Sikap Malas dan Tanpa Kegiatan yg berarti.

 Lebih berhati hati bila kita membedakan antara Tenaga Pocokan dan Orang penganggur/ jobless. Mungkin ada pernah bergurau dengan ungkapan ini "Pengacara" yang lanjutkan "Penganggur banyak acara". Semua itu sebenarnya permainan bahasa yang mengisyaratkan ketajaman melihat makna sekitar pekerjaan.

Mari bayangkan, Sikap malas, malas, bermalas-malas sehingga tampak tanpa kegiatan yang berarti. Disana orang bisa santai, relaks. Dan itu ada beberapa sebab baik yang bisa dimaafkan atau tidak. Kapan itu:

1.Menunggu, menanti (bisa terpaksa, bisa terrencana)

2.Istirahat, Rehat.(bisa terpaksa, kelelahan, bisa terrencana)

3.Jeda (time out)

4.Liburan

5.Baper, Jenuh, Kebosanan (jemu menghadapi rutinitas)

Menunggu keterlambatan pihak lain bisa membuat kita dirugikan dengan penantian yang menjemukan. Sementara kita sebaiknya mengantisipasi penantian-penantian itu dengan kegiatan tambahan, seperti menyibukkan diri dengan Hp dst.Dari pemikiran diatas tidak bisa saya menahan diri sehingga harus menyatakan: Semua itu ada di managemen waktu.

Penataan waktu yang keliru bisa membuat orang jenuh, bosan, bahkan mungkin jadi stress, lalu terkesan malas dan tidak melakukan kegiatan yang berarti. Atau tidak saja terkesan tetapi memang sengaja tidak mengindahkan hal Penataan Waktu.

Penataan waktu yang baik berprinsip pada keseimbangan dalam Pola Gerak. Ada waktu bergerak, berkegiatan bekerja, ada waktu untuk istirahat. Dan ini harus dijadikan Sikap batin yang kuat. Berbicara mengenai Pola Keseimbangan hidup meliputi Pola makan dan juga Pola Pikir.

Berbicara mengenai Pola-pola kehidupan tentu tidak bisa lepas dari pola-pola budaya. Saya pernah merasakan hidup dilingkungan Nelayan. Dilaut pun ada musim panen ada musim tidak panen ikan. 

Di waktu panen para nelayan mau beli apapun bisa. Mereka menggantikan ukuran pesawat TV, membeli meubiler, kulkas, dan sepeda motor. Tetapi pada waktu musim minus ikan, mereka dengan enaknya menjual perabot rumahnya, atau apapun untuk makan. (Maaf ini sudah pada tahun 1995-2000)

Masih menyangkut budaya hidup. Sudah pada tahun 1958 didusun saya tidak ada yang belajar di perguruan tinggi, pada tahun 1970 di RT saya hanya ada 4 orang sarjana. Kalau boleh saya bandingkan dikawasan lain dimana pertanian tidak memberi kemakmuran, justru animo kaum muda sangat tinggi untuk belajar. 

Saya pernah hidup dikota besar Jakarta setelah lama di Jawa Tengah, di Sukabumi Jabar, dan yang cuma lima tahun di Jakarta saya merasa mendapat pendidikan hidup paling intensip. Mampu mendorong saya hidup di daerah dengan bekal budaya kerja keras, bukan bekerja santun dan santai dan terlalu sabar menunggu proses dst.

Dengan kupasan dimuka sekedar mau mengatakan ada budaya petani, ada budaya nelayan, ada budaya pikir, budaya makan, budaya gerak yang membuat dampak penilaian yang satu pada yang lain bisa salah karena tidak paham konteks hidup seseorang itu. 

Selanjutnya mengingat ungkapan Belanda terhadap orang inlander orang pribumi Jawa saat itu, mungkin bisa diajukan beberapa catatan. Jawa Bali yang saat itu pertaniannya masih bisa menghidupi penduduk, tidak tertutup kemungkinan bahwa disektor tertentu budaya kemalasan itu ada. 

Yang kedua juga rasa tertekan dan hasrat memberontak dalam kapasitas terbatas membuat orang sungguh sungguh malas berbuat sesuatu kalau hanya untuk kepentingan orang lain yang menindas. Mungkin orang tua bisa merasakan  seperti itu menghadapi putra putrinya generasi zaman now.

Tetapi mari kita kobarkan api kemerdekaan dengan semangat bekerja keras.Kerja, Kerja, Kerja keras. Merdeka.

Dan tolong terima salam hormatku.

Ganjuran 11 Agustus 2018.  Emmanuel Astokodatu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun