Mohon tunggu...
Astatik Bestari
Astatik Bestari Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan Nonformal dan Informal

Pendiri Yayasan Bestari Indonesia. Domisili di Jombang Jawa Timur. Pengelola PKBM Bestari Jombang Jawa Timur. Ketua 2 DPP ASTINA Ketua bidang Peningkatan Mutu PTK DPW FK-PKBM Jatim LP Ma'arif PCNU Jombang bidang PNF

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Sekadar Busana, Kebaya dan Akar Emansipasi dalam Warisan Kartini

22 April 2025   09:42 Diperbarui: 22 April 2025   13:34 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri (Karya penulis menggunakan Canva)

Setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini untuk mengenang perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Salah satu tradisi yang tetap bertahan dalam peringatan ini adalah mengenakan kebaya, busana tradisional yang identik dengan sosok Kartini. Namun, peringatan tahun ini kembali memunculkan perdebatan: apakah mengenakan kebaya masih relevan sebagai wujud penghormatan terhadap semangat emansipasi perempuan?

Kebaya bukan sekadar busana adat. Ia merepresentasikan nilai-nilai kultural yang telah mengakar dalam sejarah perempuan Nusantara. Sejumlah catatan arkeologis dan kajian sejarah menunjukkan bahwa bentuk awal kebaya telah dikenal di wilayah Asia Tenggara sejak abad ke-9, jauh sebelum era kolonial. Seiring waktu, kebaya mengalami perkembangan sebagai simbol kelas sosial dan identitas perempuan dalam berbagai kerajaan di Jawa dan wilayah sekitarnya. Kartini, sebagai tokoh perempuan progresif di era kolonial, memilih kebaya sebagai busana harian sekaligus simbol keberpihakan terhadap nilai-nilai lokal yang dibingkai dengan semangat kemajuan.

Memakai kebaya pada Hari Kartini tidak serta-merta mengaburkan makna perjuangan substantif. Justru dalam konteks budaya yang kuat, simbol seperti kebaya menjadi jembatan antara warisan sejarah dan kesadaran sosial masa kini. Ia menjadi ruang ekspresi publik untuk menunjukkan bahwa perjuangan perempuan tidak harus menjauh dari akar budayanya.

Di sisi lain, masyarakat juga memperingati Hari Kartini melalui berbagai pendekatan yang lebih konseptual, seperti diskusi kritis, kampanye kesetaraan gender, hingga karya-karya yang menyoroti hak-hak perempuan. Pendekatan ini tidak bertentangan dengan simbol kebaya, melainkan memperkaya cara pandang terhadap semangat Kartini. Keberagaman bentuk peringatan inilah yang menunjukkan bahwa semangat emansipasi telah menyesuaikan diri dengan dinamika zaman.

Karena itu, mengenakan kebaya dalam peringatan Hari Kartini bukanlah bentuk pengerdilan makna, melainkan ekspresi kebudayaan yang sah dan bermakna. Menghargai keberagaman bentuk penghormatan terhadap Kartini justru menjadi cermin bahwa nilai-nilai perjuangannya telah merasuk ke berbagai lapisan masyarakat, baik secara simbolik maupun substansial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun