Pemerintah, melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI), berencana meluncurkan Sekolah Rakyat sebagai upaya untuk memastikan hak pendidikan bagi seluruh warga negara, terutama mereka yang berada dalam kondisi sosial-ekonomi rentan. Inisiatif ini sejalan dengan amanat UUD 1945 Pasal 31, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, serta Pasal 34, yang mengharuskan negara memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Melalui program ini, pemerintah berupaya menghadirkan solusi bagi kelompok masyarakat yang mengalami keterbatasan akses terhadap pendidikan formal, sehingga mereka tetap memiliki kesempatan untuk memperoleh ilmu dan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup.
Konsep Sekolah Rakyat bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sejarah mencatat berbagai bentuk pendidikan alternatif telah dikembangkan untuk menjangkau masyarakat yang tidak dapat mengakses sistem sekolah formal. Program ini dirancang sebagai sekolah berasrama yang memberikan layanan pendidikan secara gratis kepada peserta didik dari keluarga kurang mampu.
Dengan konsep tersebut, diharapkan para peserta dapat belajar dengan lebih nyaman tanpa harus terbebani dengan masalah ekonomi yang kerap menjadi penghambat utama dalam memperoleh pendidikan.
Selain itu, Sekolah Rakyat juga menjadi bentuk nyata kehadiran negara dalam memastikan bahwa hak pendidikan tidak hanya dinikmati oleh kelompok tertentu, tetapi juga merata bagi seluruh masyarakat.
Namun, dalam pelaksanaannya, penting untuk memastikan bahwa Sekolah Rakyat tidak menimbulkan dampak sosial yang berpotensi memperkuat stigma terhadap kemiskinan.
Meskipun tujuan utama program ini adalah membantu masyarakat yang membutuhkan, ada kekhawatiran bahwa sekolah yang secara khusus ditujukan bagi kelompok prasejahtera dapat memunculkan persepsi negatif di masyarakat. Beberapa individu mungkin merasa terbebani dengan label sosial yang melekat akibat keikutsertaan mereka dalam program ini.
Oleh karena itu, pendekatan yang lebih inklusif diperlukan agar Sekolah Rakyat tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan, tetapi juga sebagai wahana pemberdayaan yang mampu membangun kepercayaan diri dan motivasi para peserta didiknya.
Pengalaman dari program layanan kesehatan seperti BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa stigma terkait kemiskinan dapat mempengaruhi akses dan kualitas layanan yang diterima oleh peserta. Misalnya, terdapat laporan mengenai diskriminasi pelayanan terhadap peserta BPJS Kesehatan, yang seharusnya tidak terjadi mengingat pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara.Â
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan dapat menimbulkan stres yang cukup besar, isolasi sosial, dan kondisi kehidupan yang buruk, yang dapat berdampak negatif pada perilaku mencari perawatan kesehatan.Â