Mohon tunggu...
Yulianto
Yulianto Mohon Tunggu... Penerjemah - Menulis saja

Menulis saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menangkal Kekerasan dalam Pendidikan Anak

20 April 2018   19:38 Diperbarui: 21 April 2018   18:03 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: stlucianewsonline.com

Kekerasan, dalam arti yang luas, meliputi perlakuan yang tidak menyenangkan baik secara fisik maupun psikologis. Tindak kekerasan terutama terhadap anak sungguh sangat berbahaya, baik terhadap fisik maupun psikologis anak. Kekerasan akan meninggalkan luka yang tak hanya membekas pada fisik namun juga akan membekas selamanya di dalam kedalaman jiwa seorang anak. Bahkan, efek jangka panjang yang paling merugikan, kekerasan akan memengaruhi sikap dan perilaku seorang anak ketika dewasa hingga di masa tuanya kelak. 

Mencuatnya beberapa kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia beberapa bulan belakangan seperti kasus Gladiator siswa SMA di Bogor yang menyebabkan meninggalnya seorang siswa hingga tragedi Sampang yang menewaskan seorang pendidik mengisyaratkan bahwa kekerasan mulai menjangkiti kehidupan anak-anak Indonesia.

Kekerasan pada anak di dunia pendidikan Indonesia sebenarnya bukanlah sebuah topik yang baru. Pada tahun 2016, United Nation International Children's Emergency Fund (UNICEF) menempatkan Indonesia di peringkat pertama untuk soal kekerasan pada anak. Untuk urusan kekerasan di sekolah, Indonesia menempati posisi pertama dengan 84%. Lebih tinggi dari negara Vietnam dan Nepal (79%), Kamboja (73%), dan Pakistan (43%). Menurut data Komnas Pelindungan Anak, sejak 2011 hingga 2016 terdapat 676 korban kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh 400 pelaku. Oleh karena itu, data dan peristiwa kekerasan yang telah terjadi sudah cukup menjadi sinyalemen bagi seluruh elemen bangsa agar memberikan seluruh atensinya untuk menangkal kekerasan agar tidak menjadi bagian dalam pendidikan anak Indonesia.

Faktor-faktor pendorong

"Pada dasaranya tidak ada anak yang jahat. Yang ada adalah para orangtua bermasalah, guru-guru bermasalah, dan sekolah-sekolah bermasalah yang melahirkan anak-anak bermasalah".

Begitulah kutipan tentang visi pendidikan dari seorang pendidik revolusioner asal Skotlandia bernama Alexander Sutherland Neill ketika mendirikan sekolah alternatif bernama Summerhill School. Kutipan tersebut rasanya masih cukup relevan untuk dijadikan sebagai bahan renungan dalam menyikapi persoalan pendidikan di Indonesia saat ini. Meskipun pernyataan tersebut tak sepenuhnya mewakili kebenaran tetapi tetap saja masih ada pelajaran yang dapat kita ambil dari pemikiran Neill tersebut.

Berbicara mengenai kekerasan yang terjadi pada anak, baik ketika anak menjadi subjek maupun objek dari sebuah tindak kekerasan. Kita tak boleh menimpakan kesalahan pada anak dan menghakimi mereka sebagai penyebab dari tindak kekerasan tersebut. Sebaliknya, justru anaklah yang selalu menjadi korban dari sebuah tindak kekerasan. 

Karakter seorang anak secara umum terbentuk melalui proses mimikri, yaitu peniruan. Anak-anak cenderung meniru dan mencontoh sikap dan perilaku orang-orang di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, sikap dan perilaku anak tak lain merupakan representasi dari lingkungan anak itu sendiri.

Maraknya tindakan kekerasan di lingkungan sekolah di Indonesia saat ini, baik secara fisik maupun psikologi seperti perkelahian, perundungan, serta tindakan agresif siswa lainnya merupakan manifestasi dari buruknya lingkungan sosial anak-anak kita saat ini. Riset berkaitan tentang kekerasan yang melibatkan siswa di sekolah (Gorski and pilotto: 1993) menunjukkan bahwa latar belakang orangtua adalah penyumbang risiko tertinggi pada praktik kekerasan.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi para orangtua untuk melakukan introspeksi terkait pola pengasuhan anak serta tata pergaulan hidup di dalam rumah. Sekolah pertama bagi anak tak lain adalah rumah maka sudahkah para orangtua memberikan teladan yang baik bagi anak di dalam rumah?

Faktor pendorong kekerasan lainnya adalah pergaulan sejawat. Tak bisa dipungkiri bahwa setelah keluarga, teman merupakan orang terdekat bagi anak. Peran orangtua dan sekolah sangatlah penting untuk mengawasi pola pergaulan anak dengan temannya. Orangtua wajib untuk tahu siapa dan seperti apa teman dari anak-anak mereka. Pihak sekolah juga wajib mengawasi pola pergaulan anak di sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun