Mohon tunggu...
asroni hamid
asroni hamid Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Negeri Demo

18 Desember 2017   14:36 Diperbarui: 18 Desember 2017   14:37 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebayang nggak sih, jika negeri kita ini terbilang paling aktif urusan demo. Dari Sabang sampai Merauke demo seakan taka da habisnya. Ibarat mati satu tumbuh seribu. Memang beginilah konsekuensi negeri dengan julukan kepulauan ini. 

Yang jadi pemimpin ya harus ngertiin ragam budaya gaya demo setiiap daerah. Sebab satu daerah tentulah beda cara berorasinya. Sayangnya nggak banyak diliput televisi nasional. Yang kita tahu demo-demo pasti di kota-kota besar. Sebab demo di perkotaan jelaslah ada nilai jual buat dikomersilkan. Mulai demo buruh, parpol, komunitas, ormas, rakyat jelata, bahkan mahasiswa dan bocah-bocah sekolah, pasti kalau di kota-kota besar ada nilai jualnya. Ketimbang demo-demo bertempat di kampung yang notabene jauh dari keramaian.

Kenapa sih harus ada demo? Apa nggak capek gitu,..! Banyak juga yang berkata begitu. Tapi ketahuilah terkadang sampai ada demo taraf kecil, sedang, hingga besar itu, Intinya merasa terdzolimi dan meminta keadilan. 

Keadilan yang dimaksud adalah, agar segala uneg-uneg yang berhubungan dengan hak-hak yang berlaku harus dikabulkan. Kalau belum dikabulkan, pasti ada demo susulan yang lebih besar dan bikin merinding. Dan itu sudah mirip sinetron. Ada jilid satu, jilid dua, dan berikutnya. Bahkan biar kelihatan lebih serem, kebanyakan demo harus ada ban yang dibakar. 

Sebab pilihan ban untuk dibakar, jelas material ban tergolong lebih murah bahkan gratis. Disampng itu, waktu tahan bakarnya ban juga lama banget. Ketimbang bakar kayu atau kertas yang pastinya cepet habis saat dibakar. Nggak oke kan buat nemenin demo? Lha wong demo terkadang sampai petang lho!

Yang namanya demo, dimodel apapun pasti harus tampil lantang dan vocal. Nggak ada istilah demo lembek dan punya kesan datar. Apalagi sampai demam panggung alias gagap. Nggak seru tau? Jadi jangan kaget jika pas melihat demo, orasinya menggelegar bagai halilintar. Tak jarang pula dalam berorasi ada state mencuci dan mengupas target demonya dalam kategori habis-habisan. 

Dalam hukum demo seakan itu diperbolehkan. Bahkan sampai mengumpatpun terkadang juga dilegalkan. Memang demo itu unik tapi juga banyak maudhorotnya jika terjebak demo kampanye hitam. Padahal demo tanpa kampanye hitampun sebenarnya bisa berjalan apik dan tetap tak menghilangkan tujuan utama mencari keadilan. Namun sangat disayangkan ketika demo terjadi, tak jarang masyarakat kecil banyak yang dirugikan. 

Belum lagi aset-aset bangunan vital, yang seharusnya dijaga buat kebersamaan. Tapi ya itu, kantor poskamling saja ikut-ikutan rusak. Apalagi sampai merusak tempat-tempat sosial seperti sekolahan, masjid, gereja, dan yang lainnya hanya karna supaya kelihatan WOW saat demo. Yang jelas kita nggak tahu persis itu perbuatan provokasi yang mendompleng, atau pas lagi kalap, atau murni diniatin. Kita nggak bisa menuduh begitu saja. 

Sebab kita Negara hukum. Harus ada bukti jelas dan autentik. Yang masyarakat tahu ketika ada demo, mendingan kita menghindar. Gitu tok! Sebab masyarakat sudah level trauma melihat imbas hasil demo. Nggak terhitung ada kerugian material sampai tragedi korban. Wallahu 'alam.

Semoga kedepan demo bisa diminimalis seminimalis mungkin,....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun