Mohon tunggu...
asrinda harjanto
asrinda harjanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Pernikahan Dini dan Problematika Hukumnya

4 Desember 2022   18:58 Diperbarui: 4 Desember 2022   19:03 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta, Asrinda Harjanto

Dalam artikel yang berjudul "Dampak Pernikahan Dini dan Problematiaka Hukumnya" Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol.25 No.1, 2015, 11 halaman yang dituliskan oleh Muhammad Julijanto dosen Fakultas Syari'ah IAIN Surakarta. Artikel ini menjelaskan mengenai pernikahan, pernikahan anak dan bagaimana regulasi di Indonesia mengatur mengenai pernikahan di Indonesia. Artikel ini menjelaskan mengenai pernikahan dalam islam dan pembangunan keluarga sakinah dalam konsep islam.

Penulis artikel tersebut menyebutkan bahwa pernikahan merupakan hak setiap manusia yang berguna untuk rekayasa sosial. Lalu penulis juga mengatakan bahwa pernikahan yang sakinah dapat menciptakan generasi unggul Kemudian, penulis mengatakan bahwa istri harus patuh dan setia terhadap suami.

Pernikahan adalah rahmat yang harus dipelihara dengan baik oleh setiap pasangan. Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ritual ibadah. Sementara itu, menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 1 angka 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan "ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Menurut Roscoe Pound mengatakan bahwa rekayasa sosial merupakan perubahan sosial terhadap sektor hukum.

Dari artikel yang saya baca saya kurang setuju bahwa "manajemen keluarga diatur  atas dasar kepentingan suami istri yang dipandu dengan kesetiaan dan kepatuhan seorang istri". Dari kalimat tersebut, penulis artikel ingin mencoba mengkonstruksikan bahwa istri haruslah setia dan patuh kepada suami. Lalu bagaimana dengan suami, apakah suami boleh  tidak patuh dan tidak setia kepada istri? Hal ini berkaitan dengan konsep dalam islam yang mengatakan bahwa pemimpin adalah laki-laki yang adalah tanggung jawab, keteladanan, pengayoman dan pelayanan, saling pengertian, bukan otoritas dan kekuasaan. Selain itu, dalam agama islam sebenarnya telah menempatkan perempuan pada posisi yang sangat mulia dan terhormat. Namun faktanya terdapat banyak tafsir yang keliru mengenai "patuhilah suamimu" dalam agama islam. Tafsir inilah yang melegitimasi laki-laki untuk melakukan pembatasan hak asasi perempuan seperti halnya pendidikan, ekonomi dan sosial.

Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya menciptakan pola relasi kuasa yang timpang. Relasi kuasa yang timpang ini menjadi akar masalah adanya pemaksaan suatu kehendak dari seseorang ke individu lainnya. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, kedudukan dan relasi yang tidak seimbang antara pelaku dan korban menjadi salah satu faktor utama penyebab kekerasan terhadap perempuan.

Berkaitan dengan isu pernikahan anak sejatinya Indonesia telah ada pembaruan hukum melalui putusan MK No. 22/PUU-XV/2017. Dalam amarnya Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan mengenai batas usia kawin bagi perempuan adalah 16 tahun. Kemudian, putusan MK ini diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 1974. Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 ini disebutkan bahwa batas usia minimal perkawinan adalah 18 tahun bagi perempuan dan laki-laki.

Negara sudah turun tangan dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak agar tidak menikah atau anakkahkan dalam usia anak. Namun, fakta di lapangan masih ditemukan pernikahan anak dan angka pernikahan anak naik pasca pandemi.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017, juga dipertegas melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, angka perkawinan anak belum turun secara signifikan. Pada tahun 2019 - Maret 2020 sebanyak 5.100.896 anak melangsungkan perkawinan anak. Selama pandemic Covid-19, Januari-Juni 2020, telah ada 34.000 permohonan dispensasi perkawinan anak yang masuk ke pengadilan agama di Indonesia dan sebanyak 97% permohonan itu dikabulkan. Meskipun telah ada batasan usia dalam melangsungkan perkawinan, 60% permohonan dispensasi perkawinan anak itu diajukan oleh anak di bawah 18 tahun.

Hakim dalam memutus suatu putusan, terlebih dahulu melakukan penafsiran terhadap hukum. Alasan mendesak sebagai syarat dikabulkannya penyimpangan ketentuan batas usia perkawinan menjadi unsur krusial. Untuk itu, persidangan terhadap permohonan dispensasi perkawinan dilakukan untuk mendapatkan fakta hukum yang akan dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan. Fakta hukum yang sering kali ditemukan hakim dalam persidangan adalah kehamilan di luar nikah. Dengan penggunaan frasa "sudah saling mencintai dan sudah sulit untuk dipisahkan", kehamilan di luar nikah dikondisikan sebagai alasan mendesak dalam penyimpangan ketentuan batas usia perkawinan. Dalam pertimbangan hukum, hakim memberikan dispensasi untuk memberikan perlindungan hukum terhadap bagi anak dengan memberikan hubungan hukum kepada status perkawinan orang tua yang jelas. Tak hanya itu, hakim menilai bahwa perkawinan merupakan cara untuk memperbaiki stigma sosial bagi keluarga perempuan akibat kehamilan di luar nikah yang menjadi alasan terbesar pengajuan permohonan dispensasi perkawinan anak.

Hakim melakukan penafsiran bahwa situasi anak perempuan yang telah hamil di luar nikah dengan penggunaan frasa "sudah saling mencintai dan sudah sulit untuk dipisahkan" sebagai  situasi mendesak sehingga pemberian dispensasi perkawinan harus segera diberikan. Oleh karena itu, upaya pencegahan yang dilakukan lewat menaikkan batas usia perkawinan lewat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 sedikit atau tidak menyelesaikan akar permasalahan di balik maraknya perkawinan anak di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun