Mohon tunggu...
Asri Christine Lubis
Asri Christine Lubis Mohon Tunggu... -

behind the noh mask.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cari Hikmat: Tengok Ayub Sejenak

28 Januari 2015   22:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:12 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[ditulis dengan terburu-buru. entah kenapa harus terburu-buru. ya sudahlah, sedang buru-buru.]

Saya ingat betul, kalimat ini beberapa kali sampai ke telinga saya: langkah awal untuk mengenal Tuhan adalah dengan mendengarkan firman dan perkataan-Nya; baca alkitab. Hal itulah yang secara rutin saya lakukan sejak tahun lalu.

Dalam proses tersebut, saya jatuh cinta pada kitab Ayub. Saya jatuh cinta dengan rangkaian kata yang terucap dari mulut Ayub dan teman-temannya. Saya mengagumi diksi dan keindahan kiasan yang tertuang. Saya mengagumi cara Ayub membungkus kepahitan, kesedihan, dan kekelaman hidupnya dengan begitu indah. Saya mengagumi "argumen" yang saling dilemparkan oleh Ayub dan teman-temannya. Saya mengagumi cara mereka memaparkan kenyataan hidup dengan begitu dalam sekaligus sederhana; terdengar cerdas. Saya terlebih mengagumi perkataan Tuhan yang akhirnya mampu menarik Ayub ke jalan yang DIA kehendaki.

Beberapa kali saya mencocokkan perkataan Ayub dengan kehidupan saya. Entah berapa banyak orang yang juga melakukan hal tersebut. Entah berapa banyak orang yang merasa dirinya mengalami hal yang serupa dengan Ayub. Entah berapa banyak orang yang merasa begitu kehilangan hingga ingin melarikan diri dari kehidupan. Sebagian dari diri kita - kita yang pernah membaca atau menyukai kitab Ayub - mungkin merasakan persamaan tertentu dengan kisah Ayub. Secara bilangan materi, tentu kita menyadari bahwa kesedihan hidup kita mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kesedihan Ayub. Kita mungkin masih memiliki pasangan hidup, keluarga, sahabat, teman, rumah, maupun harta benda. Akan tetapi, terkadang kejadian-kejadian tertentu terasa begitu pahit sehingga kita merasa begitu layak meng-Ayub-kan diri. Kita mulai merasa sebagai korban hidup, melihat hidup sebagai bukti ketidakadilan Tuhan semata. Kita mencerca dan mencecar Tuhan. "Apa salah saya?" "Apa yang telah saya perbuat?" "Mengapa saya harus mengalami ini?" Jika jujur, saya seringkali melemparkan pertanyaan semacam itu. Tidak hanya satu atau dua kali.

Pada awal bulan Januari tahun ini, saya terpanggil untuk membaca kembali kitab Ayub. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (tidak hanya mendapatkan kesenangan), saya membaca kitab Ayub dalam terjemahan bahasa Inggris. Sesuai dugaan, saya semakin menyenangi kitab ini atas keindahan kalimat para tokoh. Akan tetapi, kali ini rasanya saya menaruh emosi yang lebih mendalam. Membaca kitab ini di tengah kepahitan membuat saya semakin merasa senasib dan sepenanggungan dengan Ayub. Hingga pasal tertentu, saya bahkan merasa begitu simpati terhadap Ayub hingga saya berharap Tuhan mengabulkan permintaannya untuk mati. Sampailah saya pada pasal terakhir. Terlihat bahwa Ayub ditarik keluar dari kekelaman hidup. Kepedihan hidupnya berakhir dan bahkan tertulis bahwa Ayub diberkati lebih daripada kehidupan sebelumnya. Dari 42 pasal, kepulihan keadaan Ayub sesungguhnya hanya tertulis dalam satu pasal terakhir.

Saya merasakan suatu ketergesa-gesaan dalam pasal terakhir tersebut. Sekitar empat puluh pasal sebelumnya telah sangat menggambarkan betapa dalamnya kepedihan Ayub. Saya tidak menerima keadaan yang tampak berbalik begitu cepat ketika memasuki pasal-pasal terakhir. (Ya, saya paham bahwa proses sesungguhnya tidak se-instan yang tampak dalam kitab.) Saya bahkan sempat merasa kesal. Suatu pertanyaan muncul, "Loh gimana sih. Udah gitu aja Ayubnya digituin naik turun?" Saya bahkan membaca ulang pasal-pasal awal, mencoba menemukan justifikasi atas kesusahan yang dialami Ayub.

Sadar bahwa saya kekurangan hikmat, secara impulsif saya menghubungi seorang teman dan bertanya:

"Udah baca kitab ayub dong?"
"Iya dulu uda pernah. Knp sri?"
"Jadi intinya kenapa ya Tuhan mengambil hal yang "dipunyai" Ayub?"
"Supaya Ayub bisa mengenal langsung Tuhan. Dia punya pengalaman rohani ato pribadi samaTuhan. Ga cuma berdasarkan omongan org lain yg pernah dia denger kalo Tuhan begini Tuhan begitu."
"Awalnya ayub terberkati bukan? Isnt a man able to know God from how he's blessed?"
"Org yg "terberkati" jg lom tentu percaya Tuhan. Maksudnya yah orang kaya jg banyak yg bkn Kristen ato kristen KTP"
"Hmm *angguk angguk* *mencerna*"


Hanya percakapan pendek. Memang beberapa pernyataan atau pertanyaan rasanya kurang relevan satu sama lain, namun saat itu saya paham akan hal yang hendak disampaikan oleh teman saya. Dan ya, hanya pernyataan sederhana yang mungkin sudah pernah terpikirkan sebelumnya. Akan tetapi, saya merasa lebih memahami kitab Ayub. Lebih tepatnya, saya merasa lebih memahami maksud Tuhan yang tersirat dalam kitab tersebut.

Saya ingin mengenal Tuhan. Sebagaimana adanya. Sebagai Tuhan. Sebagai manusia. Mungkin hal yang terjadi dalam hidup saya - ke-Ayub-an yang saya alami - adalah bagian dari serangkaian rencana Tuhan untuk mendekatkan diri saya pada-Nya. Mungkin sama seperti pernyataan teman saya. Tuhan ingin saya mengenal-Nya secara langsung dengan pengalaman hidup yang mungkin tidak mengenakkan. Tuhan ingin saya memiliki pengalaman rohani pribadi. Belajar dari kitab Ayub, Tuhan memiliki berbagai cara untuk membuat kita semakin dekat pada-Nya. Tuhan memiliki berbagai cara untuk memperkenalkan diri-Nya pada kita.

Butuh pemahaman, butuh hikmat.

"The fear of the Lord--that is wisdom, and to shun evil is understanding." (Job 28:28)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun