Mohon tunggu...
ASRA TILLAH
ASRA TILLAH Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disrupsi: Dari Model Bisnis ke Model Relasi

26 September 2021   04:23 Diperbarui: 26 September 2021   06:58 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


(Catatan sederhana diskusi lampau hari)

Oleh : Asratillah

Dua malam  lalu, saya bersua secara virtual dengan adik-adik dari DPD IMM Kaltara. Selain membincang tentang peluang dan tantangan yang dilahirkan oleh Era Disrupsi, momen tersebut adalah kesempatan tuk bertemu lagi dengan beberapa kawan yang sudah lama tidak saling jumpa. Salah satu kawan yang saya maksud adalah Bung Herman bin Mirwan, kami aktif bersama di Ikatan Remaja Muhammadiyah Kota Parepare di tahun 90-an hingga awal millenium ke dua, tapi akhirnya dia memilih tuk merantau ke Nunukan, kami saling menanyakan kabar dan kesibukan masing-masing. Lalu percakapan kami tentang disrupsi pun dimulai

Istilah disrupsi bukanlah barang baru, cuman baru diperbincangkan banyak orang dan  menjadi bagian dari trend intelektual di sekitaran tahun 2018 an hingga saat ini (karena Pandemi Covid-19 oleh sebagian pihak dianggap sebagai salah satu bentuk disrupsi). 

Disrupsi seringkali diasosiasikan dengan kejutan-kejutan, ke tak-terdua-an, ke tiba-tiba an, dimana semua hal tersebut membuat kita menjadi kelabakan. Bahkan konon tidak sedikit di antara kita, yang mengalami "kejang-kejang" alias "epilepsi" kebudayaan (kalau kita meminjam istilah Yasraf Amir Pilliang dalam "Dunia Yang dilipat"), dikarenakan kapasitas dan respon kebudayaan yang kita punya, tak mampu mengantisipasi kecepatan perubahan yang terjadi.

Di tahun 70-an, terbit buku yang dijuduli "The Innovator Dillema", ditulis oleh seorang guru besar dari Harvard Bussines School, yang bernama Clayton M. Christensen. Buku tersebut bercerita mengenai tragedi dan ironi dalam dunia bisnis, Christensen melihat adanya gejala kekalahan para petahana bisnis (incumbent) saat bersaing dengan para pendatang baru. Padahal dilihat dari segi kepemilikan modal dan sumber daya manusia, para petahana lebih punya segala-galanya dibanding pendatang.

Tapi bak memenuhi ramalan Darwin si empu teori evolusi, yang memenangkan permainan bukanlah mereka yang paling punya segala-galanya, tetapi yang paling bisa beradaptasi dengan lingkungan. Begitu pula dalam bisnis, yang bisa bertahan hidup bahkan menjadi pemenang, adalah yang paling bisa beradaptasi dengan situsai lingkungan bisnis teranyar. 

Para petahana bisnis juga terus melakukan inovasi kata Christensen, tetapi inovasi yang mereka lakukan hanya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan omset dan perluasan ekspansi pasar yang sudah disegmentasi sebelumnya. Namun para pendatang mereka melakukan inovasi pada hal yang lebih mendasar yakni model bisnis.

Inovasi pada model bisnis ini bisa kita lihat dengan jelas pada bisnis perhotelan dan jasa transportasi, di mana terhadi pergeseran dari model bisnis "owner economy" ke "sharing economy". Para pemain lama dalam dunia perhotelan, akan memulai bisnisnya dengan jumlah capital yang sangat besar, karena mesti membangun bangunan yang representatif dengan jumlah kamar banyak tentunya, hingga mempekerjakan karyawan yang tidak sedikit. 

Tetapi pemain baru jasa penginapan semisal OYO, RedDorz dan semacamnya hanya menggunakan modalnya untuk membuat wadah aplikasi dimana bisa mempertemukan antara orang yang membutuhkan kamar dan orang-orang yang memiliki sisa kamar di rumah dan tidak digunakan, tetapi bisa disulap senyaman kamar hotel. Pemain baru jasa penginapan tak mesti membuat satu gedung dan memiliki banyak kamar, tetapi mengkolaborasikan banyak pemilik kamar.

Inovasi model bisnis ini oleh Crhistensen disebut sebagai karakteristik pertama dari disrupsi. Karakteristik kedua adalah , disrupsi dalam dunia bisnis bermula dari pasar level bawah (low end). Artinya kejuatan-kejuatan bisnis menyasar segmen masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah, berbeda dengan para pelaku bisnis lama yang pasarnya adalah kelas ekonomi menengah ke atas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun