Mohon tunggu...
asri supatmiati
asri supatmiati Mohon Tunggu... Editor - Penuli, peminat isu sosial, perempuan dan anak-anak

Jurnalis & kolumnis. Penulis 11 buku, 2 terbit juga di Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Protes Tere Liye dan Gerakan Literasi Setengah Hati #31

9 September 2017   22:21 Diperbarui: 10 September 2017   10:26 1410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Begitulah. Protes atas tingginya pajak bagi profesi penulis, Tere Liye memutuskan tidak menerbitkan lagi karyanya melalui dua penerbit besar itu. Dia bilang, pemerintah selama ini tidak adil terhadap profesi penulis buku, karena dikenakan pajak lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya. Tere Liye memberikan ilustrasi perhitungan pajak sejumlah profesi yang ada, seperti dokter, arsitek, artis, hingga pengusaha. Lantas, dia membandingkannya dengan pajak yang harus dikeluarkan oleh profesi penulis. 

"Karena penghasilan penulis buku disebut royalti, maka apa daya, menurut staf pajak, penghasilan itu semua dianggap super netto. Tidak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada tarif khususnya. Jadilah pajak penulis buku: 1 miliar dikalikan layer tadi langsung. Rp50 juta pertama tarifnya 5 persen, Rp50-250 juta berikutnya tarifnya 15 persen, lantas Rp250-500 juta berikutnya tarifnya 25 persen. Dan Rp500-1 miliar berikutnya 30 persen. Maka total pajaknya adalah Rp245 juta," demikian secuplik curhatan Tere Liye (kompas.com, 7/9/17).

Atas protes itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani buru-buru memerintahkan Dirjen Pajak untuk memanggil Tere Liye. Katanya, mungkin masalah pelayanannya saja yang kurang baik. Ah, kita tunggu saja hasilnya. Semoga protes ini membuahkan hasil. Yang jelas, inilah potret paradoks kebijakan setengah hati pemerintah terhadap dunia literasi.

Ya, tahun ini pemerintah menggalakkan gerakan literasi. Menyemangati anak-anak bangsa, khususnya pelajar agar menyukai membaca dan menulis. Semua tahu, membaca dan menulis itu manfaatnya luar biasa. Tetapi di sisi lain, dunia perbukuan yang menjadi tulang punggung gerakan literasi kurang mendapat perhatian. 

Termasuk, soal nasib penulis. Sungguh, penulis itu sejatinya jarang mengeluh secara terbuka soal keuangannya. Karena, banyak penulis yang masih menjadikannya sebagai hobi semata. Namanya hobi, karena kecintaan, tetap dilakukan meski tidak membuahkan uang. Kepuasan batin, itu tidak bisa diukur dengan bayaran. 

Saya pun masih menulis sebagai sambilan. Tetapi, bagaimana yang dengan rela melepaskan segala pekerjaan demi menjadi fulltime writer? Pendapatannya hanya dari menulis. Sebab, menulis itu membutuhkan banyak waktu. Jangan dikira menghasilkan novel itu sebulan-dua bulan jadi. Waktu risetnya, itu butuh lama sekali. Mungkin berbulan-bulan hingga buku itu terbit. Yang berkualitas tentunya, entah kalau yang sekadar mengikuti selera pasar.
Selama proses itu, penulis butuh makan. Support dana. Untuk anak-istri atau keluarganya. Sementara bayaran dari royalti, biasanya baru cair enam bulan sekali. Kalau mau jujur, cashflowpenulis itu...alhamdulillah saja deh. Kecuali penulis best selleryang penghasilannya sudah puluhan juta atau miliaran, ya. 

Jadi, kalau royalti masih dipotong pajak pula, bagi penulis-penulis yang baru tumbuh, cukup memprihatinkan. Padahal, di Indonesia ini, royalti bagi penulis saja masih minim (ini di luar pembicaraan tentang pandangan Islam terhadap royalti).

Wajar jika profesi penulis tidak dilirik generasi muda. Nggak ada yang bercita-cita jadi penulis. Menulis itu masih dipandang sebagai hobi semata. Bukan masa depan yang menjanjikan. Wajar pula bila di Indonesia ini, volume penerbitan buku kalah jauh dibanding negara-negara lain. Karena, pertumbuhan jumlah penulisnya juga kecil.

Bandingkan dengan negara lain. Inggris misalnya. Rasio penerbitan buku mencapai 2.875 judul per satu juta penduduk pada 2014. Terbanyak di dunia. Disusul Taiwan dan Slovenia dengan 1.831 judul per satu juta penduduk. Amerika Serikat 959 judul per satu juta penduduk. Sementara Indonesia, baru 72 judul buku untuk satu juta orang penduduk. Sangat kecil, tentu.

Jadi, kalau mengharapkan negara ini maju dari literasi, masih jauuuuh. Sebenarnya, sudah bagus pemerintah menggerakkan literasi. Kelak dari membaca, akan lahir penulis-penulis. Tetapi, kalau belum apa-apa sudah mencekik para penulis dan membuat mereka 'ngambek', peradaban literasi macam apa yang diharapkan? 

Lagi-lagi seperti komiditi lain, apakah bangsa ini juga akan selamanya mengandalkan buku-buku impor? Mematikan para penulis lokal? Sekarang saja, di tengah persaingan buku yang riuh rendah, buku-buku impor asing; dengan penulis asing; menjajakan budaya asing; telah merajai toko-toko buku besar. Maklum, karya luar memang kita akui banyak yang jauh lebih berkualitas.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun