Mohon tunggu...
Aspianor Sahbas
Aspianor Sahbas Mohon Tunggu... profesional -

alumni pascasarjana Jayabaya,bekerja di Indonesia Monitoring Political Economic Law and Culture for Humanity (IMPEACH)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kita Tidak Pernah Jujur dalam Berbangsa

17 November 2014   10:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:38 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://newspilpres2014.blogspot.com/2014/08/kita-kuat-karena-bersatu-kita-bersatu.html

KITA TIDAK PERNAH JUJUR DALAM BERBANGSA

Oleh : Aspianor Sahbas

Sesungguhnya, sebagai bangsa kita senantiasa diajarkan nilai-nilai luhur dan agung untuk saling menghormati dan saling menghargai. Kita dilarang untuk membedakan-membedakan  suku, agama dan ras dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedudukan setiap warga negara sama dihadapan sesama warga negara lainnya. Setiap warga negara sama dihadapan hukum dan pemerintahan.

Sebagai bangsa, kita telah bersumpah setia untuk berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu bahasa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia. Sumpah setia ini telah diucapkan puluhan tahun sudah. Dan rasanya ia masih sangat relevan dengan tuntutan dan perkembangan  zaman keindonesiaan hari ini.

Akan tetapi, manakala kita melihat fakta dan realitas yang ada mungkin kita akan merasa kecewa. Hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia  yang tanpa diskriminasi masih merupakan sebuah mimpi indah yang jauh dari harapan.

Dalam hal hukum dan keadilan, terlalu sering kita mendengar bahwa penegakkan hukum keadilan di negeri ini dibaratkan sebuah pisau. Tajam ke bawah, tapi ke atas. Hukum dan keadilan hanya berlaku bagi orang-orang kecil dan bawahan. Hukum dan keadilan tidak berlaku bagi orang-orang besar dan atasan.

Dalam hal berekonomi, kita menyaksikan sumberdaya ekonomi  dikuasai oleh kaum pemodal atau dari kalangan kelompok etnis tertentu saja. Orang-orang pribumi terpinggirkan atau dipinggirkan oleh mereka yang berkolaborasi antara pemodal dan penguasa. Secara ekonomi kaum pribumi terjajah oleh kaum nonpribumi. Ekonomi dikembangkan dengan cara mekanisme pasar yang sudah pasti tidak akan menolong kaum pribumi yang terbatas modal untuk bisa menjadi pemain ekonomi. Lagi-lagi kegiatan dalam berekonomi yang berlandaskan keadilan, kejujuran dan keberpihakan kepada golongan lemah menjadi barang mahal di negeri ini.

Ketimpangan ekonomi juga merambah sangat jauh pada penguasaan sumber daya alam di daerah-daerah penghasil sumber daya alam seperti Kalimantan, Papua, dan pulau-pulau lain di luar Pulau Jawa. Rakyat yang berada di lokasi sekitar penghasil sumber daya alam tidak diperhatikan dan hidup dalam garis kemiskinan. Mereka dibaratkan seperti ayam yang mati di lumbung padi. Menguatnya ketidakadilan di bidang ekonomi ini akan menjadi ancaman yang serius bagi masa depan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa bisa bermuasal dari ketidakadilan di bidang ekonomi ini.

Dalam hal kehidupan berpolitik dan pengelolaan sistem pemerintahan, kita juga menyaksikan adanya dominasi sekelompok orang-orang yang hanya berasal dari wilayah tertentu saja. Pada salah satu tulisan di Kompasiana ini, saya pernah mengangkat tulisan dengan judul “Putera Kalimantan Tidak Diakomodir dalam Kabinet Jokowi”.Sepanjang sejarah Republik Indonesia berdiri tidak pernah putra Kalimantan absen dalam kabinet. Baik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno sampai kepada pemerintahan Presiden SBY.  (http://politik.kompasiana.com/2014/10/27/putera-kalimantan-tidak-diakomodir-dalam-kabinet-jokowi-682786.html)

Suka atau tidak suka, praktek-praktek nepotisme masih sangat kental diterapkan dalam pengelolaan sistem pemerintahan. Jika pejabatnya atau pimpinannya berasal dari suku tertentu, maka orang-orang penting yang berada di instansi tersebut akan banyak diisi oleh orang-orang yang satu suku dengan pimpinannya.

Semboyan Bhineka Tunggal Eka, berbeda-beda namun tetap satu hanya sebatas retorika tanpa makna. Bila menguntungkan ia akan digunakan, tetapi bila dirugikan ia disembunyikan. Bak pepatah melayu, tiba di perut dikempeskan, tiba di mata dipicingkan.

Berbagai kata-kata indah yang menyuarakan pentingnya persatuan dan kesatuan hanya disuarakan ketika kita dihadapkan pada masalah perpecahan. Tapi praktek kehidupan kita dalam berbangsa bernegara dalam semangat yang disuarakan itu jauh dari sikap-sikap jujur dan terbuka.  Tersembunyi di belakang pikiran, ternyata masih mengutamakan suku, agama, ras dan golongan masing-masing.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun