Sering telepon bahkan mengirimkan makanan Kita yang tahu itu salah, memberi nasehat hingga melarang. Karena terpisah oleh samudera saja hingga tak ada pertemuan dan perbuatan yang memberi celah ke arah selingkuh, walau bisa dikata selingkuh dalam kata.Â
Setelah sang kakak kita sidang, semua kedukaan, kepedihan yang dia tutupi terkuak, ambyar semua cerita telah lama di pendam. Â
Kita sebagai saudara pun memahami, namun tetap tak membenarkan apa yang dia lakukan. Memberi  sebuah alasan yang akhirnya membuat kita pun tak simpati lagi dengan kakak ipar.Â
Kesempatan itu telah diberi berulang kali, namun berulang kali pula kesempatan itu di sia siakan. Bahkan orang tua pun sempat berkata
"Salah mama, yang tak sabar menanti jodoh anak hingga menjodohkan," yang akhirnya membuat luka terdalam dalam diri anak.
Mungkin ini juga termasuk ujian kehidupannya dengan suami, mampukah dia membawa suami kepada tanggung jawab penuh terhadap anak dan istri. Mampukah mengubah kebiasaan suami mencari nafkah seadanya tanpa berpikir bagaimana kebutuhan anak anaknya.
Kemalasan suami seperti pepatah lama dari Bengkulu, "dapek ikat sejerat, madar" (memancing ikan, dapat satu ikat ikan setelah itu nyantai). Padahal kesempatan untuk mendapat lebih itu terbuka luas.Â
Mungkin inilah perjodohan yang tak dibarengi keikhlasan untuk menerima bahwa perjodohan itu mutlak yang akhirnya membawa luka terdalam dalam kehidupan yang dilalui.
Berharap keajaiban dunia, bisa berubah lebih bertanggung jawab. Namun ibarat tali terputus disambung menimbulkan sekat, ibarat cermin pecah di sambung namun masih berantakan dan membekas.Â
Begitulah perjodohan sang kakak yang bertahan hingga detik ini karena semata anak anak, jika rasa itu hilang, jangan pernah salahkan karena semua telah di lakoni  melebihi apa yang orang tahu.
Penglihatan di dalam belum tentu sama dengan yang di dalam. Kita tak bisa menilai dari luarnya saja.Â
Perjalanan ini panjang, bertahanlah. Allah tak tidur, kau pasti akan diberi bahagia dari tangan tangan anakmu.Â
Palembang, 20052021