Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Barapen, Antara Budaya dan Faktor Risiko Kecacingan

1 Februari 2017   07:17 Diperbarui: 2 Februari 2017   07:01 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses pembakaran batu untuk upacara Barapen (Dokumentasi Pribadi)

“Like all great travelers, I have seen more than I remember, and remember more than I have seen….”

(Benjamin Disraeli)

Proses Upacara Barapen (Bakar Batu)

Hari ketiga tinggal di Ibu Kota Kabupaten Lanny Jaya, Tiom, saya berkesempatan untuk menyaksikan secara langsung upacara Bakar Batu atau yang oleh masyarakat Papua disebut Barapen. Pagi hari sekitar pukul 10.00 WIT, bergegas saya menuju lokasi Barapen yang waktu itu dilaksanakan di Desa Dugom, Distrik Tiom. Upacara Barapen kali ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas didirikannya gereja di desa tersebut. Selain untuk peresmian gereja, upacara Barapen umumnya dilaksanakan saat pesta pernikahan, pesta ulang tahun, peringatan paskah dan natal, serta syukuran kelahiran anak.

Betapa excited-nya saya untuk menyaksikan serangkain proses dalam upacara Barapen. Barangkali karena saya baru pertama kali menyaksikan secara langsung upacara Barapen setelah hanya menonton di sebuah acara televisi.

Setibanya di lokasi, nampak asap membumbung tinggi di udara berasal dari pembakaran batu  yang akan digunakan untuk memasak. Menurut penuturan salah seorang informan, batu yang digunakan untuk upacara ini diambil dari sungai oleh masyarakat. Kemudian dibakar menggunakan kayu kasuari dengan tanpa bensin atau minyak tanah. Jumlah batu yang dibakar hanya menurut perkiraan saja, tidak ada standar baku untuk jumlahnya. Proses pembakaran batu sendiri memerlukan waktu kurang lebih 2-3 jam. Sembari menunggu batu dibakar dan panas,  bahan makanan yang akan dimasak pun dipersiapkan.

Barapen merupakan tradisi yang ada sejak dahulu kala. Konon menurut informan, upacara ini pertama kali dilakukan untuk mengurangi populasi babi yang meningkat tajam melebihi jumlah populasi manusia. Sehingga diadakanlah upacara masak babi secara besar-besaran dan melibatkan masyarakat dari beberapa daerah. Sedangkan untuk penggunaan batu sendiri sebagai alat masak bukanlah karena semata-mata suku Lanny pernah mengkuduskan batu besar sebagai tempat hidupnya arwah yang telah mati. Kepercayaan terhadap arwah yang bersemayam di dalam batu perlahan mulai hilang setelah para Misionaris datang membawa injil. Kembali kepada penggunaan batu, adalah alat untuk memasak karena menurut mereka batu yang panas akan lebih efektif digunakan memasak dari pada menggunakan air panas. Batu bisa menyimpan panas lebih lama dari air panas, sehingga jika digunakan untuk memasak, maka makanan akan matang dengan baik.

Masyarakat yang mengikuti upacara Barapen tidak hanya dari Distrik Tiom, melainkan juga dari Distrik di Luar Tiom. Termasuk dari luar Kabupetan Lanny Jaya, seperti dari Tolikara, Puncak Jaya, dan Jaya Wijaya. Mereka berkumpul per keluarga untuk menyiapkan babi dan bahan makanan lain seperti sayur bingga (daun umbi), ipere (umbi) jagung, labu dan lainnya. Setiap keluarga biasanya menyumbang 5-6 ekor babi untuk upacara Barapen. Harga seekor babi di Lanny Jaya bisa mencapai 60 juta rupiah. Menurut informan, dalam upacara Barapen kali ini kurang lebih ada 398 ekor babi yang dimasak. Sungguh nilai yang cukup fantastis jika mengingat tingginya harga babi di Lanny Jaya bukan?

Upacara Barapen melibatkan sanak saudara dari distrik lain. Hal ini merupakan perwujudan dari rasa kebersamaan, senasib dan sepenanggungan. Jika ada keluarga yang tidak mampu memberi persembahan babi untuk upacara Barapen, maka keluarga lain akan membantu menyumbangkan babi miliknya. Prinsip gotong royong dan kebersamaan begitu melekat pada jiwa suku Lanny.

Suara nyanyian menguar di udara. Yel-yel pembangkit semangat pun teralun dari pita suara mereka.” Hoyaaa….hoyaa….hoyaa….” adalah sarana pembakar semangat pada upacara Barapen. Jika digambarkan, menurut salah seorang informan, seperti semangat ketika seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita dalam sebuah acara.

Para peserta menjalankan tugas sesuai dengan jobdes-nya masing-masing. Kesibukan mulai nampak di tempat pelaksanaan upacara Barapen. Panitia dengan toa ditangannya memberikan instruksi pelaksanaan upacara. Sesekali terucap kata “waa…waa…kinaonak…!” yang berarti ucapan terima kasih atas kerja sama dan terselenggaranya upacara ini. Butuh waktu sekitar satu bulan untuk mempersiapkan upacara Barapen kali ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun