Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rendang Babi, Bentuk Kreativitas Tukang Masak atau Pelecehan Budaya?

13 Juni 2022   19:05 Diperbarui: 13 Juni 2022   19:22 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari lalu jagat maya diramaikan berita adanya rendang babi yang dijual pengusaha kuliner. Bahkan sampai menjadi trending topic di Twitter. Bermacam reaksi netijen terkait adanya rendang babi. Ada yang memaklumi, memprotes, hingga mencaci maki sang pembuat masakan rendang babi sebab menganggap tindakan tersebut merupakan bentuk pelecehan budaya Minang.

Suku Minang atau Minangkabau terkenal dengan kelezatan makanan berbumbu rempah yang kuat. Suku Minang tersebar di wilayah Sumatra Barat dan beberapa wilayah di sekitarnya seperti Riau, Bengkulu, Aceh, bahkan negeri jiran, Malaysia atau biasa disebut Semenanjung Malaya. Mayoritas masyarakat suku Minang menganut agama Islam.

Seperti kita ketahui bersama, rendang adalah makanan tradisional khas Minang yang mendunia. Bahkan pernah dinobatkan menjadi makanan paling enak di dunia. Sungguh patut dibanggakan, bukan? Rendang dimasak dengan bumbu rempah melimpah dan butuh beberapa jam hingga menjadi daging berwarna kecokelatan yang menggiurkan.

Bahan dasar rendang adalah daging sapi, namun seiring waktu sekarang kita dengan mudah menemukan rendang ayam, rendang telur, rendang kentang, bahkan yang menggemparkan netijen belum lama ini adalah rendang babi. Lalu, apakah rendang babi   merupakan bentuk pelecehan pada budaya Minang yang mayoritas beragama Islam ataukah justru bentuk kreativitas dan apresiasi terhadap rendang?

Permasalahan yang menyangkut atau disangkutpautkan dengan agama selalu sangat sensitif di masyarakat kita. Terkadang kita lupa jika hidup dalam keberagaman. Negara ini terdiri atas beragam kepercayaan, budaya, adat istiadat, bahkan bahasa. Toleransi antarsesama individu hingga masyarakat sangat dibutuhkan. Terkadang kita melihat perbedaan sebagai ancaman dalam kehidupan hingga membuat mata kita buta untuk bersikap saling mengasihi, menghargai, dan menghormati.

Sebagai ilustrasi, mari kita tengok masyarakat Kupang. Mereka punya hidangan tradisional sei berbahan dasar daging babi hutan yang dimasak dengan diasapi kayu. Sekarang mudah menemukan sei sapi, sei ayam, bahkan sei ikan. Umat muslim bisa menikmati makanan tradisional Kupang ini sebab ada versi halal dan tentu nikmat juga. Apakah kemudian ini merupakan pelecehan pada budaya masyarakat Kupang karena sei dibuat dari selain daging babi hutan? Silakan berpikir bijak dengan kepala dingin.

Atau perlu contoh yang mendunia?

Makaroni merupakan pasta Italia yang dulu konon dibawa Marco Polo, penjelajah asal Venesia. Sekarang bagaimana nasib makaroni? Apakah hanya diolah sebagai pasta dengan saus tomat atau bermandikan parutan keju? Oh, tentu tidak! Makaroni kini diolah secara kreatif oleh masyarakat kita. Kita bisa menjumpai makaroni dalam semangkuk seblak yang berkuah pedas, atau makaroni digoreng kering lalu ditaburi bubuk cabe atau bumbu jenis lainnya menjadi camilan ringan yang sempat digemari kalangan anak-anak hingga dewasa. Semoga masyarakat Italia turut mengapresiasi kreativitas ini dan legowo melihat nasib makaroni di tangan kita.

Nah, masalah rendang babi saya kira bukan bentuk penghinaan terhadap budaya tertentu. Bukankah si penjual rendang babi tidak memaksa masyarakat muslim atau yang tidak makan daging babi untuk turut membeli dan mengonsumsinya? Mungkin kita harus belajar legowo dan bijak dalam menyikapi fenomena yang berkembang di masyarakat sebab kita hidup dalam indahnya keberagaman. Barangkali pemasak rendang babi itu ingin mengapresiasi rendang yang mendunia dan ikut melestarikan makanan khas Minang tersebut. Marilah kita belajar mengambil sisi positif dan tidak terlalu terburu-buru tersulut amarah.

              Bagaimana?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun