Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Seperti Dendam, Rindu Akan Lombok Juga Harus Dibayar Tuntas (Part 1)

21 Agustus 2019   09:36 Diperbarui: 22 Agustus 2019   11:59 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga tahun yang lalu, sekitar bulan Juli 2016 saya menginjakkan kaki di pulau Lombok untuk pertama kali. Saya sempat mengunjungi beberapa pantai dan mencoba makanan tradisional Lombok seperti nasi balap Puyung, ayam Taliwang, sate Rembiga, pelecing kangkung dan juga lainnya yang ternyata begitu memanjakan indera pengecap saya. Waktu itu saya merasa telah jatuh hati dengan Lombok. Pantai Senggigi, pantai Selong Belanak, pantai Kuta, Tanjung Aan, pantai Setangi, dan pantai-pantai lain yang saya lupa namanya, desa adat Sade, dan Malimbu yang eksotis.

Bulan Juli lalu, akhirnya saya berjumpa lagi dengan Lombok. Entah kenapa saat roda pesawat menyentuh landasan, rasanya hati saya diliputi haru seperti ketika kembali pulang ke rumah setelah sekian lama hidup di tanah orang. Saya bergegas menuju pintu keluar bandara dan menemui penjemput saya. Kali ini saya pergi bersama kakak dari @janjalantrip. Sebelumnya, saya sudah menentukan tempat yang akan saya kunjungi. Saya juga berencana mengunjungi beberapa tempat yang 3 tahun lalu pernah saya datangi untuk sekedar bernostalgia.

Hari Pertama

Saya sampai di bandara sekitar pukul 15.30 WITA, dari bandara, kak Leo mengajak saya menuju bukit Merese yang lokasinya di Lombok Tengah. Butuh waktu sekitar 45 menit dengan kecepatan ala pembalap pemula atau 1 jam bagi para penganut aliran slow motion untuk bisa sampai ke lokasi. Saya sengaja meminta ke bukit Merese sore hari untuk menikmati senja dari atas bukit. Sebelum naik ke bukit, kami mampir dahulu di pantai Tanjung Aan. Sekalian bernostalgia, dan karena ternyata bukit Merese sungguh sangat dekat dengan Tanjung Aan. Tiga tahun lalu sepertinya nama bukit Merese belum naik daun, sehingga teman saya dulu tidak mengajak saya melihat bukit tersebut. 

Saat saya bertanya tentang batu payung legendaris di Tanjung Aan, kak Leo bilang kalau batu payung tersebut sudah roboh karena terkikis gelombang. Syukurlah, dulu saya sempatkan menyeberang ke lokasi batu payung dan sudah pernah berfoto ria dengannya, jadi saya punya kenangan untuk disimpan. Tapi kasihan bagi para pemilik sampan yang dulu sering mengantar ke lokasi batu payung, pastinya kehilangan pemasukan semenjak robohnya batu payung.

Kami pun akhirnya mendaki tipis-tipis menuju bukit. Nampak beberapa turis lokal dan asing sudah mulai memadati bukit. Mereka nampak asyik hunting foto dari berbagai sudut. Saya cukup gembira menikmati hembusan angin yang lumayan kencang. Rasanya seperti ada dalam buaian ibu peri. Sembari menunggu senja muncul, saya minta kak Leo untuk mengambil foto saya dengan bukit Merese. Menurut saya, kalau dilihat bukit Merese ini nampak seperti pulau Padar mini dan dari atas bukit kita bisa menyaksikan hijaunya pantai Tanjung Aan.

Landscape dari bukit Merese (dok.pri)
Landscape dari bukit Merese (dok.pri)
Setelah menunggu kurang lebih 30 menit, akhirnya senja muncul dari balik langit Tuhan.

Senja di bukit Merese (dok.pri)
Senja di bukit Merese (dok.pri)
Senja yang berhasil menyita waktu saya untuk berlama-lama menikmatinya. Sebagai anggota solidaritas klub pecinta senja, saya akan betah memandangi senja sampai matahari benar-benar tenggelam. :D

Senja kedua di bukit Merese (dok.pri)
Senja kedua di bukit Merese (dok.pri)
Tidak hanya para manusia yang menikmati romantisme di waktu senja, tapi saya juga menyaksikan kawanan monyet berlarian di bukit. Tidak perlu takut, karena monyetnya tidak agresif. Bahkan mereka bisa jadi objek foto yang menarik.

Model terbaik saya (dok.pri)
Model terbaik saya (dok.pri)
Waktu itu, sesaat setelah melihat matahari terbenam, dari atas bukit saya juga sempat melihat gunung Rinjani menyapa malu-malu dari balik kumpulan awan.

Gunung Rinjani nampak malu-malu menyapa dari balik awan (dok.pri)
Gunung Rinjani nampak malu-malu menyapa dari balik awan (dok.pri)
Setelah puas menjelajahi bukit Merese, kami beranjak menuju kota Mataram. Kak Leo mengajak saya mampir makan nasi Balap Puyung yang konon katanya adalah pemilik resep pertama, ialah nasi Balap Puyung Inaq Esun. Warung nasi Inaq Esun sangat sederhana dan pada saat saya ke sana, warungnya masih dalam tahap renovasi. Tempat duduk yang disediakan juga tidak banyak, tapi pemilik juga menyiapkan tempat duduk untuk lesehan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun