Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Eksotisme Negeri Embun Beku

30 April 2016   13:44 Diperbarui: 21 Oktober 2019   10:05 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Angka kasus Pneumonia yangmasih tinggi kemungkinan disebabkan oleh kualitas udara dan sanitasi dipemukiman Balita yang kurang baik. Masyarakat Kabupaten Lanny Jaya masih banyak yang tinggal di rumah adat Honai tanpa jendela dan cerobong asap. Honai laki-laki dan perempuan terpisah. Suami-istri pun kalau tinggal juga terpisah di honai masing-masing, termasuk anak mereka juga terpisah.

Keterkaitan antara Pneumonia dan rumah tinggal Honai saat ini sedang diteliti lebih lanjut oleh Kepala Bidang PMK. Selain tinggal di Honai, masyarakat Lanny Jaya juga ada yang tinggal di rumah semi permanen yang terbuat dari kayu. Namun, ada juga sebagian kecil yang sudah menempati rumah permanen dari tembok. Harga bahan bangunan yang menjulang tinggi disinyalir menjadi salah satu penyebab masyarakat masih memilih tinggal di rumah adat Honai. Sebagai langkah kecil menuju hidup yang lebih sehat, Pemerintah setempat menyosialisasikan adanya modifikasi untuk rumah adat Honai yang dilengkapi dengan jendela dan cerobong asap. 

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat masyarakat Lanny Jaya memang masih perlu ditingkatkan. Kebetulan saat itu Kami menginap semalam di Tiom. Saya tinggal di rumah dinas seorang dokter gigi yang berasal dari Bandung. Dia tinggal bersama adik ipar dan anaknya yang masih berusia 8 bulan. Kami mengobrol sampai larut malam. Obrolan Kami terhenti  ketika listrik padam. Listrik di Tiom memang hanya menyala di jam tertentu. Begitu juga dengan sinyal telepon seluler, di Tiom hanya Telkomsel yang bisa digunakan, itu pun kadang seminggu mati total atau bahkan pernah sebulan mati total.

Sebagai daerah pegunungan, di Tiom masih sulit air. Kebutuhan air bersih didapat dari menadah hujan. Kalau hujan tak kunjung turun, terpaksa warga memanfaatkan air sungai yang berwarna coklat karena bercampur lumpur atau beli air dari sumbernya langsung dengan harga selangit ( tandon air kapasitas 500 liter seharga 500 ribu rupiah). Mayoritas masyarakat Tiom mengandalkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh sebab itu, menurut tenaga kesehatan setempat, membuang sampah dan buang air di sungai merupakan sebuah larangan. 

Saat keliling Tiom untuk melihat aktivitas masyarakat setempat, Kami bertemu dengan warga pendatang dari Toraja, Madura, Probolinggo, Surabaya, dan juga Batak. Para pendatang ada yang menjadi pegawai pemerintah, pedagang warung kelontong, tenaga kesehatan, tukang ojek, dan membuka warung makan. Kala itu Kami makan siang di warung orang Probolinggo. Mereka menjual penyetan ayam. Seporsi penyetan ayam dijual dengan harga 60 ribu rupiah. Sedangkan mujair goreng dijual dengan harga 80 ribu rupiah. Maklum, ayam yang dijual di Lanny Jaya harus diimpor dari Pulau Jawa. Dari Jawa ke Jayapura dengan kapal, kemudian Jayapura ke Wamena dengan pesawat, dari Wamena baru siap terhidang di Lanny Jaya. 

                                                 

Pasar Tradisional Tiom

 

Pasar tradisional Tiom masih jauh dari kata nyaman, apalagi bersih. Pedagang di pasar membangun sendiri tempat berjualan mereka seadanya. Ada jugayang hanya menggelar tikar tanpa atap pelindung. Lumpur becek dan tumpukan sampah menambah ironis pemandangan di pasar tradisional Tiom. Babi-babi berkeliaran mengais-ngais makanan di tumpukan sampah. Namun, senyum mama-mama pedagang membuat kami betah berlama-lama ngobrol di Pasar. Sampai pada harapan para pedagang tentang janji Presiden untuk membangun pasar tradisional mereka. Harapan besar semoga pemerintah segera membangun pasar tradisional mereka sehingga lebih layak dan nyaman bagi para pedagang maupun pembeli.

Pasar tradisional di Tiom ini buka dari pagi sampai sore hari sekitar pukul 17.00 WIT. Sayur-mayur, bumbu masak seperti bawang merah dan bawang putih, lauk-pauk, celana dan pakaian, noken dan beberapa kebutuhan sehari-hari dijual di pasar tradisional ini. Para pedagang mengambil barang dari Wamena atau berasal dari hasil panen masyarakat yang dijual di pasar.  Di sekeliling pasar ramai dengan kios-kios yang menjual perlengkapan kebutuhan sehari-hari. Pemilik kios hampir semuanya adalah pendatang. Terkadang ada beberapa pemilik kios yang nakaldengan tetap menjual dagangan mereka yang sudah kadaluarsa. Sehingga pemerintahsetempat sering mengadakan razia bahan makanan kadaluarsa demi melindungikonsumen.

Tidak ada timbangan di pasar tradisional ini.Sayur seikat, bumbu seperti cabe, bawang, jahe, sudah ditata sebagaimana digambar dan dihargai serba 10 ribu, kecuali beberapa barang tertentu dihargai lebih. Harga bahan makanan maupun barang keperluan sehari-hari menurut saya sungguh fantastis. Pertama kali datang saya sempat melongo sepersekian detik. Misalnya, harga telur 3 buah sebesar 10 ribu rupiah, bawang satu bungkul dijual 10 ribu rupiah, seikat sayuran (kangkung, sawi, bayam) dihargai sekitar 20-30 ribu rupiah, bahkan mie instan yang erat dengan selera anak kost karena harganya yang murah, di sana dijual dengan harga 5 ribu rupiah per bungkus. Lalu, bagaimana dengan harga tahu dan tempe? Sepotong tahu dan tempe kurang lebih seukuran telapak tangan dihargai 5 ribu rupiah. Tahu yang dijual di pasar Tiom dan berasal dari Jayapura, saya sebut tahu tahan banting, karena teksturnya yang keras dan tidak mudah hancur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun