Mohon tunggu...
Asmuddin
Asmuddin Mohon Tunggu... lainnya -

www.asmuddin.blogspot.com Belajar Menulis "Jika tidak bisa turun ke jalan, melawanlah dengan TULISAN"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"PAUD" Penanda Awal Punahnya Permainan Tradisional

28 Desember 2017   22:36 Diperbarui: 28 Desember 2017   22:51 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: okezonenews.com

Sebagai salah satu petugas yang ditugaskan untuk melakukan pendampingan mempersiapkan Satuan PNF agar memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dalam melaksanakan layanan programnya, saya dan tim diharuskan untuk melakukan kunjungan ke Satuan PNF dan bertemu dengan banyak pengelola lembaga yang bergerak di bidang Pendidikan Nonformal. 

Di antara banyak satuan PNF tersebut, salah satunya adalah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang memberikan layanan pendidikan di bidang PAUD. Berbagai bentuk layanan PAUD yang disediakan lembaga tersebut  antara lain dalam bentuk Taman Kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), maupun Satuan PAUD Sejenis (SPS).

Dalam penyelenggaraan layanannya, setiap lembaga PAUD diharuskan memiliki sarana pendidikan dan sarana pembelajaran yang memadai. Ini merupakan komponen utama agar sebuah lembaga PAUD dapat memperoleh akreditasi sebagai pengakuan pemenuhan SNP. Entah itu berupa Alat Permainan Edukatif (APE) luar maupun APE dalam, baik dalam bentuk balok, fuzzel, gambar-gambar, dan lain-lain. 

Dari hasil pengamatan saya dan tim terhadap APE yang dimiliki oleh lembaga PAUD (TK maupun KB), baik yang berlokasi di dekat kantor bupati/walikota (perkotaan), maupun yang bertempat di samping rumah dekat kandang ternak (pedesaan dan daerah terpencil), ada semacam keseragaman bentuk dan jenis APE yang di miliki. APE luar bisa dipastikan dalam bentuk prosotan, ayunan, ungkit-ungkitan, APE dalam wajib dalam bentuk fuzzel berbagai macam hewan, balok, alat peraga edukatif seperti gambar tata cara beribadah, gambar binatang, hewan dan lain-lain, yang kesemuanya itu merupakan produk pabrikan dari perusahaan tertentu.

Tak ada satu pun APE yang digunakan oleh lembaga PAUD yang kami temui merupakan permainan tradisonal yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Di APE luar, tak kami temukan alat permainan Congklak (dalam bahasa Mandar di kenal dengan nama Makkaracang) sebagai medium untuk mengajarkan nilai budaya, dasar-dasar menghitung, dan sportifitas. 

Pun tak ada area untuk permainan Engklek (Mattewa : bahasa Mandar), permainan yang dapat meningkatkan kemampuan motorik kasar anak, dasar-dasar menghitung, sportifitas, kemampuan  bersosialisasi, menjaga emosi, dll. Tak juga kami temukan gambar-gambar, fuzzel, dan balok, yang mengandung muatan-muatan permainan tradisional, sebagai medium untuk memperkenalkan sejak dini budaya lokal, sejarah, dan cara menghargainya. Semua APE yang ada merupakan buatan pabrikan yang berpusat di kota.

Saya mengenang masa-masa kami memperoleh pendidikan prasekolah, bagi kami generasi yang tumbuh jauh dari hiruk pikuk perkotaan, zaman itu tak ada institusionalisasi pendidikan prasekolah seperti saat ini, kalau pun ada, itu sangat jauh di ibukota kecamatan, yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang berduit. Institusi pendidikan pra sekolah kami adalah alam sekitar, tak berseragam, tak bersepatu. APE kami adalah permainan tradisional yang dibuat sendiri oleh kami. Tak ada guru, karena kami semua adalah sumber belajar.

Saat ini, ditengah formalisasi dan institusionalisasi pendidikan, termasuk pendidikan pra sekolah, alat peraga pendidikan telah menjadi industri, tak lagi murni sebagai sarana pendidikan. Sebagai komoditi, alat peraga seperti APE telah menjelma menjadi barang yang menjanjikan, dengan nilai ekonominya, dia telah menjadi alat bargaining untuk mendapatkan keuntungan. 

Dan institusi pendidikan seperti lembaga PAUD merupakan market yang sangat menarik, maka tak heran jika sarana APE yang yang ada di lembaga PAUD semuanya sama, kadanga dari pabrikan yang sama pula, karena sebagai sebuah komoditi, dia lahir dari proses promosi yang genjar dan negosiasi yang alot, disertai kesepakatan siapa mendapatkan apa dan berapa.

Dalam formalisasi dan institusionalisasi pendidikan seperti sekarang, semakin tak ada tempat untuk tumbuh dan perkembangnya "permainan tradisional", setelah lingkungan keluarga dan masyarakat tak mampu menjadi benteng, bahkan menjelma menjadi monster, kini giliran institusi pendidikan  menjadi pembunuh berikutnya. Padahal berbagai jenis permainan tradisional bisa  menjadi alat permainan edukatif anak untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak, merangsang motorik kasar dan motorik halus anak. 

Sekarang tak ada lagi anak yang mengenal permainan "Cakke/Maccakke", Gasing  tradisional pun sudah bermetamorfosis ke gasing plastik. Permainan layang-layang sudah termodifikasi ke bentuk-bentuk moderen yang bisa diproduksi massal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun