Mohon tunggu...
Asmiati Malik
Asmiati Malik Mohon Tunggu... Ilmuwan - Political Economic Analist

Political Economist|Fascinated with Science and Physics |Twitter: AsmiatiMalik

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Tumbuh Belum Tentu Masyarakat Sejahtera

14 April 2018   20:12 Diperbarui: 15 April 2018   08:42 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disamping itu dibutuhkan teknologi yang mampu melakukan kalkulasi data dalam jumlah besar. Sedangkan teknologi komputerisasi yang dianggap modern baru diperkenalkan ketika Windows 3.0 diperkenalkan dan ketika virtual memory pertamakali ditemukan.

Pada saat itu teknologi komputer belum bisa mengolah data yang besar karena perangkat keras komputer jaman itu masih menggunakan prosessor 12 MHz sedangkan pada saat ini, sudah mencapai kemampuan 4.20 GHz atau sama dengan 4200 Mhz,  350 lebih cepat dibandingkan dengan 28 tahun yang lalu.

Sekarang konsep GDP menjadi bahasan yang wajib dan pasti ada diawal-awal bab ditextbook Ilmu Ekonomi, dan dikembangkan olehmainstream Ekonomi. Pada dasarnya komponen GDP diliat dari Konsumsi, Investasi, Belanja Pemerintah serta besaran Impor dan Ekspor.

Oleh mainstream economist, GDP menjadi tolak ukur kesejahtraan masyarakat dengan argumentasi bahwa GDP perorang merefleksikan rata-rata pendapatan dan pengeluaran seseorang, karena dalam hukum ekonomi mainstream, pendapatan yang tinggi akan di ikuti dengan pengeluaran yang tinggi pula. Jadi indikator utama yang dipake disini adalah harga.

Pendekatan GDP adalah pendekatan yang abstrak dan tidak reflektif pada kondisi ekonomi secara keseluruhan. Pendekatan yang terkesan sangat simpel ini mengabaikan banyak faktor, seperti: nilai, lingkungan, kondisi emosional dan psikologi oleh masyarakat.

Sehingga pendekatan ini tidak reflektif digunakan untuk melihat kondisi kesejahtraan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dibuktikan dengan besaran GDP sering tidak sejalan dengan keadilan ekonomi seperti tingginya kesenjangan, sehingga indikator harga tidak bisa digunakan untuk menjelaskan kesejahtraan masyarakat.

Sama saja ketika pemerintah mengembangkan sistem deteksi ketersediaan barang dan jasa berdasarkan komponen harga. Maka ketika terjadi  reaksi perubahan harga di pasar, secara impulsive, kemudian disimpulkan ada kelangkaan barang dan jasa, sehingga langkah pertama yang dilakukan adalah bagaimana cara men-supply (impor) barang dan jasa kedaerah tersebut untuk menstabilkan harga.

Padahal belum tentu fluktuasi harga disebabkan karena kurangnya produksi (bukan supply), misalnya saja petani menahan diri untuk menjual hasil produksinya dan menunggu ketika harga barang naik.

Maka indikator yang paling tepat untuk melihat kontur pertumbuhan ekonomi adalah dari segi produksi bukan harga. Karena produksi mengkonstruksi kekayaan ekonomi dan merefleksikan kesejahtraan, akan tetapi harga bisa  bersifat bias dan manipulatif.

Inilah yang menjadi masalah utama ketika pendekatan harga menjadi faktor utama untuk membangun ekonomi. Liat saja banyaknya besaran anggaran belanja negara disektor pendidikan atau besarnya dana Otsus papua yang bisa dianggap tidak berkualitas karena banyak diselewengkan oleh pejabat negara.

Apalagi jika konsentrasi ekonomi hanya dikuasai dan dikelola oleh beberapa orang saja, sehingga besaran kue ekonomi tidak dinikmati secara menyeluruh dan merata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun