Mohon tunggu...
Asmaul Husna
Asmaul Husna Mohon Tunggu... Penulis - Penulis muda dari Aceh yang kerap menulis artikel di media cetak Serambi Indonesia dengan tema sosial-budaya, politik, dan lingkungan.

- Alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) - Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Lhokseumawe - Pegiat di Indonesia Climate Tracker - Alumnus Young South East Asian Leaders Initiative (YSEALI) 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petani Berhak Sejahtera

22 Mei 2019   16:24 Diperbarui: 22 Mei 2019   17:02 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Asmaul Husna

Ketika mendengar kata petani, Anda mungkin langsung membayangkan sosok dengan pakaian yang lusuh, dekil, wajah gelap penuh keringat, berpeluh di bawah hujan dan matahari, tanpa alas kaki, dan segurat raut wajah yang jauh dari kata sejahtera. 

Bayangan seperti inilah yang kemudian membuat profesi petani jarang masuk dalam daftar cita-cita. Jika memang seperti ini bayangannya, tidak ada gerenasi muda yang mau jadi petani. Siapa yang mau mempunyai profesi dengan penampilan lusuh, wajah penuh peluh, dan melekat dengan image miskin.

 Membaca keadaan tersebut, maka gambaran tentang profesi petani harus diubah. Bayangan sejahtera harus tergambar satu paket dengan petani. Orang yang memilih menjadi petani karena memang menyukainya dan melihat gambaran hidup sejahtera, bukan karena terpaksa sebab tak ada pilihan lain.

Kurang diminati 

  Di era revolusi industri 4.0, modernisasi  pertanian memang menjadi sebuah keniscayaan. Namun di sisi lain, regenerasi petani juga mutlak diperlukan. Ini menjadi penting mengingat saat ini menjadi seorang petani seolah dihindari, apalagi dicita-citakan. Sederhana saja, silakan tanya kepada anak-anak TK dan SD, apa cita-citanya. Dapat dipastikan banyak yang akan menjawab ingin menjadi dokter, polisi, pilot, guru, presiden, bupati dan sederet profesi lainnya yang dipandang lebih berkelas. Sedangkan menjadi petani, mungkin tidak masuk dalam bayangan bahwa itu adalah sebuah profesi.

 Ini tentu memprihatinkan, mengingat jumlah orang yang mengonsumsi nasi  dan sayur kian hari semakin banyak, sedangkan yang menanam sayur dan padi semakin sedikit. Saya khawatir, jika petaninya ngambek dan mogok atau bahkan berhenti menjadi petani, berapa banyak yang harus menderita lidah dan lambungnya karena terpaksa harus menggantikan nasi sebagai makanan pokok.

Teringat apa yang pernah disampaikan oleh ibu saya dulu. "Mak, untuk sirap (dalam bahasa Aceh kami menyebut snack dengan kata "sirap"), mengapa harus kita sediakan nasi untuk buruh tani yang bekerja di sawah kita? Bukankah cukup kue dan minuman dingin saja, karena memang pukul 10.00 WIB belum masuk waktu makan siang? Di samping itu kita juga memberi mereka upah," tanya saya suatu hari.  "Iya. Tapi kita tidak boleh seperti itu sama buruh tani. 

Di kampung kita memang sengaja dibuat peraturan bahwa yang punya sawah harus menyediakan nasi sebagai sirap untuk buruh tani yang bekerja di sawahnya. Ini dimaksudkan agar orang yang selama ini memilih jadi petani bekerja dengan senang hati. Karena sulit dibayangkan jika mereka mundur sebagai petani dan gak mau lagi turun ke sawah. Kita semua akan kesusahan," jelas ibu kala itu.

 Kini saya mulai paham, kenapa Ibu saya bela-belain menyediakan nasi sebagai sirap untuk buruh tani. Ini bukan persoalan untung-rugi, lebih ekonomis ataupun efesien, tapi upaya sederhana untuk memberi pelayanan terbaik dan sebagai ucapan terima kasih kepada petani karena bersedia berlelah-lelah memanen padi untuk ketersediaan pangan ke seluruh pelosok negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun