Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rasisme Bukan Hal Baru, Enggak Usah Kaget!

6 Juni 2020   01:02 Diperbarui: 16 Juni 2020   16:28 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Protest #BLM in USA (Unsplash.com/Sean Lee)

Opini publik yang bergulir juga bermacam-macam dan paling parah ialah stigma terhadap masyarakat Papua bahwa hal itu merupakan langkah separatis, dengan dalih mereka orang asli papua (OAP) ingin merdeka.

Beberapa khalayak menganggap, tagar #PapuanLivesMatter ialah wujud perlawanan kolektif citizen Indonesia yang peduli kondisi Papua dan menunjukkan pada dunia bahwa segala bentuk diskriminasi rasial harus dihapuskan di bumi pertiwi.

Kisruh di beberapa kota besar di Papua akan menjadi catatan buruk rezim yang tengah berkuasa, karena darah yang tumpah, ruh yang telah memisah dengan jasad ialah harga yang harus dibayar, sehingga penting dicarikan jalan keluar terkait apa yang mesti dilakukan bersama-sama. Antara Indonesia dan Papua sebagai bangsa Indonesia.

Mula Konflik

Pasca kemerdekaan, awal mula konflik terjadi ketika Belanda dan Indonesia memperebutkan wilayah Papua antara menjadi bagian dari NKRI atau negara sendiri yang dimerdekakan oleh Belanda. Hingga berakhir pada negosiasi di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menghasilkan perjanjian New York (1962) dibawah rezim Sukarno.

Hasil negosiasi tersebut adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Papera): mengembalikan permufakatan kepada rakyat Papua. Antara memilih bergabung dengan Indonesia atau bersepakat dengan Belanda untuk menjadi negara sendiri yang dimerdekakan. Hasil dari Papera (1969) wilayah Papua resmi menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Meski Pepera dimenangkan Indonesia, sebagian besar warga Papua merasa bahwa Pepera tidak dilakukan dengan metode "Satu orang, satu suara," namun dengan musyawarah. Untuk mendukung pernyataan ini, pemilih pada saat Pepera adalah 1025 orang. Sedangkan jumlah warga Papua saat itu adalah 800 ribu penduduk.

Melihat Pengalaman

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada masa kepemimpinannya, pengamalan menangani konflik dengan pendekatan humanistik boleh dinilai berhasil dengan merangkul warga Papua serta meyakinkan mereka bahwa masyarakat Papua berhak diperlakukan sama.

Salahsatu dari sekian banyak upaya pendekatan humanis yang dilakukan Gus Dur ketika dirinya ingin melihat matahari terbit di Papua padahal kondisi mata Gus Dur saat itu tidak bisa melihat alias buta. Beberapa pengamat menyampaikan bahwa hal itu merupakan strategi politik Gus Dur dalam mengistimewakan rakyat Papua sebagai bagian dari NKRI, tidak boleh ada diskriminasi. Agar masyarakat Papua yakin bahwa Pemerintah juga memerhatikan mereka, tanpa ada perbedaan sedikitpun antara masyarakat yang lain dalam naungan NKRI.

Hal inilah yang semestinya menjadi acuan Pemerintah yang sedang berkuasa agar senantiasa melakukan tindakan-tindakan humanis. Dilansir dari Kompas, upaya Pemerintah saat ini pun melakukan tindakan yang dinilai militeristik, wilayah Papua Barat dilakukan penambahan aparat keamanan sebagai dalih menjaga stabilitas keamanan. Hal tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut menangani konflik yang tengah terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun