Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Memahami "Miranda Rule" dalam Kasus Ferdian Paleka

14 Mei 2020   00:32 Diperbarui: 6 Juni 2020   03:58 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ferdian Paleka (Foto: alinea.id)

JAGAT maya dihebohkan dengan tindakan yang dinilai kurang manusiawi yang dilakukan oleh seorang YouTuber asal Bandung, Ferdian Paleka. “Bagi-bagi sembako berisi sampah dan batu bata” menjadi tema pembicaraan publik.

Betapa tidak disaat semua orang tengah menghadapi masa sulit saat pandemi COVID-19 dan berpikir upaya perlawanan seperti apa yang hendak dilakukukan, Ferdian justru seolah menanggapi pandemi yang dihadapi bangsa saat ini ialah sebuah lelucon yang semestinya ditertawai bersama, terlepas dari mengundang click bait konten di akun YouTubenya.

Ferdian dinilai melakukan tindakan yang telah keluar dari nilai luhur kemanusiaan dan keIndonesiaan, yakni menghormati hak dan martabat manusia dalam negara yang berlandaskan hukum dan demokrasi. Dalih dari perbuatannya ialah mendukung upaya Pemerintah dalam menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Perbuatannya mendapat kecaman dari berbagai pihak, terutama nitizen di dunia maya.

Karena hal itu Ferdian dan kedua rekannya ditangkap di kawasan Kiaracondong, Bandung, Jawa Barat. Tepatnya di Tol Merak arah Jakarta, pada Jumat (8/5/2020) ketika hendak kabur.

Saat ditangkap tidak ada perlawanan dari ketiga pelaku (bukti bahwa ketiganya kooperatif terhadap penegakan hukum di Indonesia). Selanjutnya, polisi membawa pelaku dan rekannya, berikut barang bukti lain ke Mapolsek Tangerang, Polres Metro Tangerang Kota sebelum akhirnya dibawa ke Bandung.

Atas tindakannya, Ferdian dan rekannya dikenakan dugaan pelanggaran Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Jo Pasal 36, Pasal 51 ayat (2) UU ITE dengan ancaman hukuman 12 Tahun penjara.

Prinsip Miranda Rule

Sejarah mencatat penerapan Miranda Rule dikenal akibat protes seorang pria yang bernama Ernesto Miranda atas penangkapan dirinya oleh pihak kepolisian karena diduga melakukan tindak pidana penculikan dan pemerkosaan terhadap seorang perempuan berusia 18 Tahun di negara bagian Amerika Serikat, Arizona (1963).

Atas dugaan tindakannya itu Miranda diseret ke ruang interogasi dan dipaksa membuat pernyataan tertulis bahwa dirinya telah menculik dan memperkosa perempuan seperti yang dituduhkan padanya. Pernyataan Miranda kemudian dijadikan alat bukti oleh Terdakwa yang berakhir pada vonis atas dirinya selama 20 Tahun penjara.

Karena vonis tersebut, Miranda dan kuasa hukumnya mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Penasihat hukum Miranda berdalih bahwa pengakuan yang dibuat Miranda tidak sah, karena sebelum dilakukan pemeriksaan, Miranda tidak diberikan hak-haknya sebagai tersangka. Namun hal tersebut di Tahun 1966 tidak membuat Miranda bebas, hanya penangguhan hukuman saja.

Kasus Miranda melawan Arizona yang terkenal itu, memunculkan amandemen kelima Konstitusi Amerika Serikat (Bill of Right) di tahun yang sama (1966) dan menjadi pedoman beberapa negara lain dalam penerapan hukum acara pidananya.

Prinsip Miranda Rule kini dikenal sebagai aturan yang mengatur hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana, sebelum diperiksa oleh penyidik. Aturan tersebut mewajibkan Polisi untuk memberikan hak-hak seseorang, hak untuk diam. Karena segala sesuatu yang dikatakan seorang tersangka dapat digunakan untuk melawannya atau memberatkannya di Pengadilan.

Kemudian hak untuk mendapatkan, menghubungi penasihat hukum untuk membela hak-hak hukumnya. Dan jika ia tidak mampu, maka ia berhak untuk disediakan penasihat hukum atau advokat oleh negara. Dalam hal ini tentu oleh institusi yang bersangkutan (Sofyan Lubis, Prinsip "Miranda Rule" Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan: 2010).

Di Indonesia, prinsip Miranda Rule telah terkodifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 114 mengenai hak untuk mendapatkan bantuan hukum; dan Pasal 56 ayat 1 “Bila tidak mampu, tersangka berhak disediakan pendamping hukum oleh pejabat bersangkutan atau penyidik.”

Juga diperkuat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 19 ayat 4 “Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.”

Jika hal tersebut tidak diindahkan, maka instansi hukum terkait tidak mengikuti ketetapan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993 mengenai “Apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi Tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.” Hakim berhak memutuskan seluruh dakwaan batal demi hukum (bila prosesnya telah masuk pada tingkat peradilan).

Kasus yang menimpa Ferdian jika dikaitkan dengan prinsip Miranda Rule yang terakomodir dalam legalitas hukum Indonesia maka Ferdian berhak untuk tidak memberikan jawaban atas tindakan yang disangkakan padanya tentang pelanggaran sejumlah pasal dalam UU ITE. Dirinya juga berhak didampingi penasihat hukum dan negara berkewajiban menyediakan pendamping hukum untuk tersangka bila tersangka tidak mampu, selama menjalani proses hukum.

Apabila kita menduga Ferdian melakukan pelanggaran hak asasi terhadap Transpuan bukankah juga sebaiknya kita mendukung Ferdian dalam pemenuhan hak asasinya di negara yang berpedoman hukum, sebagai upaya proporsionalitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun