Mohon tunggu...
Chairunnisa Ilmi
Chairunnisa Ilmi Mohon Tunggu... Freelancer - An Ambivert

Mahasiswa jurusan Antropologi Budaya di ISBI Bandung

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mumgahan, Kisah Ketika Susah

30 November 2020   22:10 Diperbarui: 30 November 2020   22:15 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ketika sudah tidak susah, di KBRI Thailand. *doc pribadi

                Aku matikan data seluler. Menangis. Lalu tidur untuk beberapa jam.

                Menjelang maghrib, aku terbangun. Bingung untuk bagaimana, aku menangis lagi, menangisi nasib. Uang yang tak seberapa ini harus kubelikan apa agar aku dapat bertahan untuk beberapa hari sampai temanku kembali. Ketika itu aku merasa dunia seakan kelam, aku tidak tega untuk meminta uang pada keluarga mama, atau ingatanku pada ayah yang sudah hampir menelantarkanku pun hanya membuat perasaanku makin kacau.

Kuaktifkan kembali data seluler, muncul beberapa pesan dari whatssap grup keluarga. Mereka sedang mengobrol seputar silaturahmi online. Aku salami mereka balik, kukatakan aku sedang ada di Bandung dan tidak pulang kampung waktu itu. Lalu ada kakek, adik dari nenekku yang memanggil, ia menyuruhku pergi  ke rumahnya di daerah Baleendah. Katanya pamali kalau Mungahan sendirian. Aku berbinar, hanya saja aku bingung dengan ongkos yang tak cukup 10.000. tiba tiba, seakan tahu, kakek berkata akan menjemputku pada malam hari sembari pulang dari kantornya. Betapa senang hatiku ! kuucapkan hamdallah beberapa kali. Akhirnya aku dapat melewati Mungahan bersama keluarga dan aneka lauk pauk.

                Kabut kelam mulai menghilang perlahan, hujan berhenti, pelangi di pelupuk mata. Seakan tidak percaya, aku bangun dari duka citaku, mandi dan bersiap diri.

                Malam harinya aku dipanggil ulang oleh kakek, setelah isya aku berangkat. Beliau datang dengan sepeda motornya. Kupakai helm dan melaju, sepanjang jalan kami mengobrol sebagaimana kakek dan cucu. Kumandang takbir menggema, air mata haru berjatuhan, maha besar Allah yang telah mengatur segala takdir hambanya.

                Disana nenek sedang memasak beberapa menu makanan untuk sahur. Mereka berbagi makanan dan cemilan denganku sebagaimana aku cucu mereka. Meski sederhana, aku merasa seperti di rumah. Banyak sekali bahagiaku waktu itu, lalu kuceritakan pada nenek dan kakek. Mereka bilang jangan sungkan bertandang kapanpun. Aku mengangguk.

                Lusanya, aku pulang kembali ke kostan, temanku sudah pulang. Pihak kampus memanggilku untuk menghadap. Rupanya untuk membicarakann perihal pencairan proposal dana.

                Keluar dari kantor, aku sedikit gemetar. Uang dalam amplop senilai 6jt ditanganku, pemberian dari kampus. Aku duduk untuk beberapa saat. Tidak percaya. Padahal beberapa hari yang lalu aku masih mengumpulkan uang recehan untuk membeli permen, hari ini sudah lain cerita.

                Uang ini uang amanah dari kampus yang harus kugunakan untuk pembayaran akomodasi kegiatan Sidang PBB. Sisanya ada sekitar 200 rb yang bisa kugunakan untuk berbelanja kebutuhan pokok bulanan.

Aku ajak sahabatku. Kami pergi ke pusat perbelanjaan yang tak jauh dari kampus tak lupa membeli beras dan memasak untuk buka puasa. Aku senang sekali.

Ternyata, kebahagiaan memang sederhana. Bahkan hanya sekedar makan bersama dan berkumpul dengan sanak saudara, sudah menyelamatkan kita dari perasaan menjadi orang paling tidak beruntung sedunia. Sayang, terkadang kita terlalu rumit mendefinisikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun