Mohon tunggu...
Chairunnisa Ilmi
Chairunnisa Ilmi Mohon Tunggu... Freelancer - An Ambivert

Mahasiswa jurusan Antropologi Budaya di ISBI Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Babah (Musibah Kentut di Warung Kopi) bagian I

24 November 2020   23:37 Diperbarui: 26 November 2020   20:24 1383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malamnya aku konsultasi lagi dengan istriku, apakah aku harus melaksanakan anjuran di kertas itu atau tidak. Dan istriku menjwab ‘’Sudahlah, mungkin terlihat agak sedikit gila, tapi sebenarnya dia sungguh cerdas ! Kita ngga tau kenapa bisa begitu, tapi percayalah, hitungannya tidak pernah meleset !’’ aku diam saja, kemudian terlelap untuk membuka mata di hari esok.

Sekitar jam 4 dini hari aku bangun, mempersiapkan keberangkatan menuju warung kopiku. Walau sebenarnya bukan persiapan, hanya sekedar kehendak. Bersama seorang tukang, aku berangkat menuju warung kopi yang jaraknya hanya satu kilometer dari rumahku menggunakan mobil yang dikendarai supir pribadi milik istriku.

Sampai di kedai, aku dan dang tukang diturunkan, mobil hitam mulus itu berbalik arah. Cuaca masih terasa dingin. Langit masih gelap. Sangat sedikit sekali aktifitas disini. Aku lihat wajah si tukang yang masih sedikit terkantuk.’’ Hmmh, ayo cepat kita pindahkan!’’ teriakku semangat. 

Si tukang pun menurut. Sesuai petunjuk di kertas dari lelaki kemarin, aku hanya perlu memindahkan bangunan kayu ku sejauh 170 cm ke arah utara. Harus pas. Tidak boleh meleset sedikitpun. Maka dari itulah aku meminta ditemani tukang yang serbabisa ini.

Entah ini keberuntungan berkat si lelaki misterius kemarin atau apa. Secara mendadak warung kopi kopiku langsung ramai di keesokan harinya. Bahkan aku harus berlari ke toko kelontongan yang berjarak 500 meter untuk membeli gula dan susu kental manis.

Hari terus berganti. Banyak sekali pekerja bangunan yang jadi pelanggan setia. Pada pagi, siang, dan sore hari, setiap sudut di ruangan ini tercium semerbak aroma kopi : kopi tubruk, kopi instan, kopi susu, dan kopi racikan sesuai selera. Tidak banyak kopi racikan yang aku tawarkan, hanya komposisi 1-2-3 : 1 sendok krimer, 2 sendok gula, dan 3 sendok kopi, atau bisa juga dibalik. Terserah mereka.

Namun, yang dipertanyakan adalah tentang kebenaran teman istriku itu. Benarkah semua ini berkat dirinya atau hanya keberuntunganku saja ? Bisa saja perhitungannya benar. Namun lain dari itu, sehari sejak pergeseran warung kopiku sejauh 170 cm ke Utara, tanah kosong yang berjarak 100 meter dari warung kopiku mulai dibangun sebuah proyek. 

Katanya akan dijadikan rumah susun. Sehingga banyak pula pekerja yang nongkrong di warung kopi pada jam-jam istirahat. Bahkan saking banyak dan ramainya, aku sempat berpikir untuk menyaingi kekayaan istriku beberapa tahun ke depan kalau begini terus. Kemudian aku tertawa lebar saat membayangkannya.

Satu bulan setelah itu, saat hari menjelang sore, hawa panas dari kepulan beberapa gelas kopi yang masih beraroma tajam, seseorang bertubuh gempal, perutnya buncit, mata sipit, kulitnya putih seperti etnis Cina, ditambah bagian lain yang lebih putih –mungkin panu, banyak bagian tubuhnya yang berombak lemak, ditambah tongkat dan kacamata bundar di wajahnya yang bulat, mendekati warung kopiku.

Mungkinkah itu mantan ketua mafia ? rentenirkah ? paranormal ? biksu kah ? karena kepalanya yang plontos, atau jagoan shaolin kah ? berharap ada sisa rambutnya yang dikepang. Ah bukan, yang jelas ia botak sampai ke ujung kepala belakangnya-

Semua mata memandangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun