Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kompas, Pelopor Kata Bentukan Baru Bahasa Indonesia

1 Agustus 2018   05:56 Diperbarui: 1 Agustus 2018   06:12 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: antaranews.com

Bahasa itu dinamis, berubah-ubah seiring dengan masyarakat penggunanya. Kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan dibakukan oleh para pakar bahasa beberapa puluh tahun lalu telah mengalami perubahan banyak serta dirasakan oleh masyarakat di tahun-tahun ke depan. Perubahan-perubahan dapat dibaca serta dilihat baik di media cetak atau di media elektronik.

Penggunaan kata serapan yang berasal dari bahasa asing, terutama bahasa Inggris tidaklah sekedar diambil begitu saja, tapi telah berlebihan, yang sering kali kita dengar sehari-hari di sekitar kita.

Percakapan bahasanya ngawur, kendati padanannya sudah ada. Istilahnya menjadi bahasa gado-gado. 

Jika Anda keseharian tinggal di Jakarta yang masyarakatnya majemuk, campur baur, ada yang dari Padang, Batak, Sunda, Jawa, Cina dan sebagainya. Pemakaian sehari-hari bukan lagi sebagai bahasa dialek, tetapi penggunaan bahasa asing maupun daerah sudah berlebihan. 

Orang sekarang mengatakan hal tersebut sebagai bahasa gaul. Kata-kata seperti ini pasti sudah sering Anda dengar: "ngai maunya fifty-fifty aja, gitu loh, tapi yah up to you lah".

"Kita mah ga usah naek taksi, naek bus way aja"

"Kalau gitu, why not?"

"Lay out aja sendiri"

"Belum di upgrade"

"By the way, oke lah"

"You kan tahu, kalau aku lagi busy"

"Walah, boring deh gue"

"Halo, please deh"

Dan masih banyak contoh lainnya.

Kalimat di atas adalah kata-kata yang diserap, sekarang kita perhatikan, kata yang sering kita lihat di koran atau majalah, antara lain: memerkosa, menertawakan, permenungan, memercaya, memopulerkan, memesona, memerhatikan dan masih banyak lagi.

Bila kita runut ke belakang, pada saat perayaan ulang tahun 2005, surat kabar Kompas lah yang mempelopori secara resmi kata-kata tersebut.

Semua konsonan yang tak bersuara diluluhkan.

Sebagai contoh, ME+KONSUMSI menjadi MENGONSUMSI bukan MENGKONSUMSI, ME+SOMASI menjadi MENYOMASI bukan MENSOMASI, ME+PESONA menjadi MEMESONA bukan MEMPESONA, ME+PERHATIKAN menjadi MEMERHATIKAN bukan MEMPERHATIKAN, dan lain-lain. Kata mempengaruhi, mempercayai, memperhatikan, mempesona yang telah beredar bertahun-tahun dianggap salah.

Kata bentukan baru masih membuat bingung sebagian orang, apa sebaiknya kembali saja ke bahasa yang umum dipahami masyarakat?

Bagaimana kalau menurut kamus?

Bahasa yang digunakan di media adalah permainan kata-kata, seorang jurnalis bertugas dengan kata-kata, ia bukanlah seorang pakar bahasa. Dan seandainya didiskusikan akan berlarut-larut serta barang kali tidak akan menghasilkan apa-apa.

Adalah Prof. Dr. Gorys Keraf (RIP), seorang pakar bahasa membuat rumusan pedoman nasalisasi yang ditulis dalam bukunya Tata Bahasa Indonesia, terbitan Nusa Indah, Flores tahun 1970, sebagai berikut:

  1. Kata-kata serapan yang masih terasa asing, walau menggunakan k, p, t, s tidak diluluhkan untuk menjaga jangan sampai menimbulkan salah paham.
  2. Fonem y, r, l, w tidak mengalami nasalisasi, istilahnya, nasalisasi zero.
  3. Nasalisasi hanya berlaku pada kata-kata dasar atau yang dianggap kata dasar. Kata berimbuhan tidak mengalami nasalisasi.
  4. Konsonan bersuara tetap, konsonan tak bersuara (k, p, t, s) luluh.
  5. Nasalisasi berlangsung atas dasar homorgam. Contoh: p dan b bernasal m (panggul jadi memanggul, bilas jadi membilas). Fonem k dan g bernasal ng (kecil jadi mengecil, gelontor jadi menggelontor).

Dari rujukan tersebut, maka bentukan-bentukan baru seperti memopulerkan, memerhatikan, memunyai, memengaruhi adalah tidak salah. Karena konsonan tak bersuara (k, p, t, s) memang harus luluh.  Ada beberapa kata yang menjadi pengecualian seperti kata mengaji bukan berarti berasal me+kaji menjadi mengaji.

Dengan demikian kata bentukan baru tidaklah salah. Tetapi kata yang sudah bertahun-tahun merupakan kebiasaan yang sering kita pakai telah salah kaprah, kesalahan yang terus berulang.

Seperti halnya di Bahasa Inggris yang terdapat pengecualian (bahasa Inggris memiliki kata kerja tak beraturan yang menyimpang dari rumus umum. Kalau ingin berbahasa Inggris yang baik dan benar harus hafal sekian banyak irregular verbs). Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa peluluhan berlaku pada kata-kata dasar, bukan pada afiks (imbuhan).

Mudahnya, pe atau per bukanlah merupakan bagian dari kata dasar, maka (p) itu tidak akan luluh (mempersatukan, memperbesar, memperkecil, memedulikan, memesona).

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun