Mohon tunggu...
Asiah Ahmad
Asiah Ahmad Mohon Tunggu... Novelis

Seseorang yang selalu menanti pagi dengan doa dan harapan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Suratan Takdir

26 April 2025   19:34 Diperbarui: 27 April 2025   14:34 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Siluet pasangan. (Sumber gambar: pixabay.com/sucker4pain)

Surat itu sudah berada di tanganku. Surat bersampul krem dengan hiasan hati berwarna merah di tengah. Debaran yang tidak teratur kembali memenuhi hatiku. 

Aku selalu menyukai hal-hal yang tidak biasa bagi orang lain. Misalnya saja surat yang datang diantar seseorang. Tidak ada lagi Pak Pos, melainkan seorang kurir yang mengantarkannya. Ini terasa janggal. 

Di zaman yang serba canggih, semua orang sudah menggunakan aplikasi komunikasi yang cepat. Hanya mengetik lalu kirim, pesan apa pun akan segera sampai ke tujuan.

Kubuka sampul krem itu, surat yang berisi rayuan, tidak lagi asing bagiku. Engkau teramat paham, seperti apa rona wajahku saat membuka sampul suratmu. Aku terkesima dengan kata-kata yang kau pilih. Begitu indah dan tersusun rapi. Entah dari mana engkau belajar tata bahasa, aku ingin lebih tahu seperti apa dirimu sebenarnya.

'Ketika surat ini sudah berada di tanganmu, aku hanya memohon satu hal. Menikahlah denganku. Ini sebuah permohonan yang kuat dari hatiku. Aku berharap, engkau mau menerima permohonanku.'

Aku tidak percaya. Berulang kali kubaca kembali kata demi kata yang kau tulis. Rintik hujan seakan menyuruhku untuk mengatakan, aku akan melakukan keinginanmu, Tuan Harun. Rayuanmu begitu ampuh menaklukan hatiku.

Dengan hati yang berkeinginan kuat, aku membalas suratmu penuh suka cita. Aku yakin, engkau akan bahagia dengan balasan suratku. Kita akan segera ke pelaminan, inginku seperti itu. Kuharap juga engkau memiliki keinginan yang sama denganku.

Hari demi hari berlalu. Sang awan sedang mengabu di langit. Tetes-tetes hujan hadir memeluk tanah. Firasatku tidak tentu mengingatmu. 

Adakah hal yang akan membuatku menangis. Terdengar dering telepon di nakas, secepat mungkin aku mengambilnya dan mendengarkan siapa gerangan yang akan memberiku kabar.

Desir bahagia menyelimuti hati. Suaramu meredam semua gelisah selama ini. Keyakinan akan bersatu dua hati bertambah kuat. Obrolan tentang masa depan dengan fasih kita ucapkan bersama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun