Dia yang mau menikah saya yang deg-deg-an. Begitulah kira-kira perasaan saya ketika mewakili keluarga calon pengantin pria yaitu adik saya sendiri. Sepanjang perjalanan dari Ciracas menuju Srengseng. Saya terus latihan dalam hati. Seperti mau lomba pidato saja. Kira-kira sensasi gugupnya hampir mirip.
Padahal sudah sering menyaksikan atau ikut saudara yang mau di lamar. Tapi hari itu saya merasakan hal yang tidak biasa. Adik laki-laki satu-satunya. Sudah mau menikah saja.
Perasaan baru kemaren sore dia lulus SMA. Hari ini dia akan nantinya melaksanakan Sunnah Rasul yang sangat tinggi kedudukannya. Karena menikah adalah ibadah seumur hidup. Seolah saya begitu bijak, padahal baru dua tahun abangnya ini menikah dengan dikaruniai satu orang putra mungin dan tampan.
Saya harus melakukan ini sebagai pengganti Bapak yang telah tiada empat tahun lalu. Rasanya seperti mimpi. Hari ini saya menggantikan Bapak saya untuk melamar anak orang. Ada rasa sedih sekaligus senang. Karena adik saya akhirnya menikah, dengan perempuan pilihannya yang saya tahu belakangan. Mungkin paling terakhir diantara keluarga yang lain.
Maklum saya tinggal jauh dari dia. Saya di Depok hampir masuk Kabupaten Parung. Sementara dia di Ciracas Jakarta Timur. Kami jarang komunikasi langsung. Memang soal perempuan kami tidak pernah saling bercerita. Semacam kode etik tanpa harus di ingatkan. Mungkin tidak semua abang adik seperti itu. Tapi begitulah kami.
Baru tiba di rumah calon mempelai perempuan, ternyata ada teratak, tenda yang kecil hanya sebatas halaman depan rumah saja. Seolah seperti acara pesta namun sangat mini. Hanya terdiri tidak lebih dari dua puluh kursi yang disarungi kain kuning.
Dan ada dua meja di sisi kiri kanan pintu masuk untuk menempatkan makanan secara prasmanan. Kami langsung disambut tuan rumah dengan keramahan khas orang Sunda. Calon mertua adik ternyata Sunda dan Palembang dari pihak Ayahnya. Ibunya asal Garut Jawa Barat. Sudah lama menetap di Jakarta dua puluh tahun lebih. Acara berlangsung dengan lesehan di ruang depan.
Dan ternyata sudah ada seorang tokoh agama di sekitar lingkungan yang menjadi pembawa acaranya. Setelah pembukaan, beliau mempersilahkan yang mewakili pihak laki-laki untuk memberikan sambutan. Saya tanpa aba-aba langsung saja salam dan kata-kata pembukaan yang umum.
Lalu ti the point. Dengan maksud untuk melamar putri Bapak. Dan sedikit cerita latar belakang yang lebih sekedar untuk mencairkan suasana. Bahwa saya baru tahu belakangan dia adik saya mau menikah. Sampai selesai tidak sampai lima menit mungkin. Selalu saja ada yang terlewat. Begitu salam penutup.
Abang sepupu saya buru-buru membuka pembicaraan untuk mengenalkan semua anggota pihak laki-laki. Ya tidak apa. Beliau lebih santai tampaknya. Setelah diperkenalkan semua, barulah sambutan tuan rumah yang ternyata diwakilkan oleh tokoh agama setempat. Pak Ustad biasa dipanggil. Perkara wakil mewakilkan, ini hal yang lumrah dan bisa dimaklumi. Karena tidak semua orang mampu berbicara di depan umum, sama halnya mendiang Bapak saya.
Beliau tidak pernah dalam acara semisal pengajian bulanan di rumah, untuk memberikan sambutan. Begitulah tipe orang-orang. Beda-beda. Dan saya tidak pernah mempersoalkannya.