PERTAMA kali saya sampai di Pesantren Motivator Qur'an Ekselensia (MQ), saya menjumpai banyak sekali santri yang berlatar belakang berbeda-beda, tetapi mereka hidup rukun dalam satu payung nilai-nilai multikulturalisme.
Perbedaan bahasa, adat-istiadat dan tradisi tidak menjadikan bahwa persaudaraan di antara mereka semakin renggang, justru itu dijadikan modal utama untuk membangun spirit persatuan dan kesatuan.
Dengan perbedaan tersebut, para santri semakin mengetahui bahwa betapa pentingnya membangun spirit persatuan dan kesatuan di tengah-tengah masyarakat plural.
Oleh karena setiap tujuan itu sama-sama menuju Allah SWT, maka jalan yang ditempuh oleh semua kalangan selama itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang signifikan adalah patut dihargai. Karena terkadang tujuan sama, tetapi cara memahaminya berbeda sehingga menjadikan kita beragam cara.Â
Prof. Azyumardi Azra (Azyumardi Azra, Fenomena Beragama 2020) juga pernah menjelaskan tentang hal ini. Bagi dia, umat Islam lebih baik membangun komonalitas atau kata bersama daripada membesar-besarkan kata perbedaan yang ada. Sikap saling merajut kebersamaan itulah yang saya temukan di pesantren ini.
Di sekitar pesantren pun hidup beragam keyakinan agama yang juga berbeda-beda, akan tetapi dengan bekal mental keimanan yang kuat dan kokoh sehingga pelajaran saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada adalah lebih penting lebih mengkristal daripada sibuk mencari titik perbedaan itu sendiri.
Ustadz Edi Susanto adalah pengasuh pesantren MQ ini. Beliau sendiri bukan tipikal orang yang dikit-dikit marah-marah, walaupun pada kenyataannya seringkali beliau menjumpai beberapa santrinya melanggar peraturan pesantren.
Cara yang beliau tempuh lebih menerapkan cara-cara yang ramah tetapi mendidik, sama halnya dengan cara para Walisongo dulu ketika akan mendekati masyarakat Nusantara.
Para wali ini melakukan cara-cara yang ramah bukan marah-marah. Dengan pendekatan yang persuasif itulah masyarakat menjadi tahu bahwa marah-marah bukanlah ajaran Islam.