Mohon tunggu...
ashimuddin musa
ashimuddin musa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Jadilah orang pertama yang berbuat baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Matinya Seorang Penulis, Matinya Cahaya Dunia

7 Juli 2020   17:23 Diperbarui: 8 Juli 2020   00:43 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: penasantri.id


 
Kalau ingin umumnya panjang, maka menulis lah!

Menulis itu merupakan pekerjaan otak dan otot. Selain otak digunakan untuk mengulik, meriset, mengamat, menulis juga membutuhkan jiwa yang sehat. Pada saat badan tidak sehat menulis juga akan jadi terbengkalai.

Banyak orang yang bercita-cita ingin jadi penulis, tetapi di saat yang sama mereka kerapkali kurang siap. Ke-kurangsiap-an ini biasanya menyelimuti perasaan setiap orang yang mau belajar menulis. Apa saja indikator yang dapat menyebabkan orang-orang gagal menulis?

rasa malas

Saya pernah ditanya seseorang tentang kiat sukses menulis. Saya menjawab: "membuang rasa malas". Rasa malas pasti pernah dirasakan setiap orang. Apalagi pekerjaan menulis tidak gampang banget tetapi juga tidak susah.

Dalam pengalaman saya menulis di beberapa media, yang paling susah di awal itu adalah mulainya.

Dalam pengalaman saya menulis di beberapa media, yang paling susah di awal itu adalah memulainya.

Karena menulis itu bukan suatu bidang ilmu yang bisa saja dilakukan secara turun-temurun. Atau ilmu turunan. Akan tetapi, sebuah bakat yang memerlukan kegigihan dan konsisten. Nah, di sini terkadang banyak orang yang bingung dari mana menulis harus dimulai?

Bersabar

Sabar adalah sikap mental yang wajib dimiliki seorang penulis. Banyak cerita para penulis yang hari ini telah menelurkan ribuan karya (ilmiah ataupun non-ilmiah). Setelah melalui proses panjang menaklukkan rasa malas untuk belajar menulis, mereka terkadang harus mati-matian belajar bersabar. Karena sabar adalah pangkal sukses.

Saya merasa bersyukur, setelah kedua ini saya amalkan dengan sebaik-baiknya ternyata benar menulis itu mudah. Kuncinya hanya satu: tekun. 

Saya teringat cerita seseorang penulis terkenal di Barat yang juga pernah mengalami pasang surut dalam menulis. Cerita ini saya baca dari cerita  Dr. Jalaluddin Rakhmat yang disadur oleh Mas Badiatul Muchlisin Asti (Kang Asti) dalam karyanya, "Buku Sakti Menulis Opini".

Ceritanya begini, Suatu ketika ada seseorang di Barat sangat tekun menulis artikel sebanyak mungkin, dan tidak satupun dimuat media. Hingga -berkisar- ke 1501. 

Baru pada jumlah artikel yang ke-1502 baru ada kabar bahwa artikelnya telah dimuat media ternama. Andai ia berhenti pada artikel ke 1500, menurut Asti, tidak mungkin ia menjadi penulis ternama. Mungkin saja, sih. Tapi kemungkinan besar, iya. 

Ketika artikel opini anda belum dimuat jangan menyerah, ya! Mungkin saja tulisan anda bukan tidak baik. Akan tetapi, ada artikel lain lebih aktual dan lebih memikat hati redaktur.

Latih sedikit demi sedikit bagaimana menjadikan tulisan anda dengan tema aktual itu. Kalau susah mencari pembimbing jangan panik, saya punya solusinya. Sedikit promosi. Dapatkan kiat-kiat sukses menulis opini. Buku itu ada di saya. Ini mungkin solusi buat antum, yahh.

Dengan artikel ini, anda bisa membacanya bisa dari tengah, dari depan dan dari mana saja sesuai kesukaan anda. Beneran mau menulis?

Lanjut pada tema lagi. Di atas saya cuma bercanda tapi serius. Dalam proses belajar menjadi penulis dia (orang Barat dalam cerita Dr. Jalaluddin Rakhmat) pernah gagal kurang lebih hingga 1501 kali. Akan tetapi dia tidak pernah patah semangat.

Baru pada momen yang ke 1502, kaget bukan main dia rasakan, karena mengetahi bahwa tulisannya telah dimuat media melalui laporan, mungkin kalau saat ini diberitahukan lewat email, lah. Padahal, dia tidak yakin kalau tulisannya bakalan dimuat. 

Di sinilah signifikansi konsistensi tersebut. Seandainya dia telah berhenti pada momen yang ke 1501 tersebut, kemudian menyerah; tidak menulis lagi, sudah pasti nama dia tidak akan dikenang media. Sehingga, namanya ikut sirna bersama jasadnya setelah mati. Inilah yang saya maksud dengan matinya seorang penulis.

Di sinilah signifikansi konsistensi tersebut. Seandainya dia telah berhenti pada momen yang ke 1501 tersebut, kemudian menyerah; tidak menulis lagi, sudah pasti nama dia tidak akan dikenang media. Sehingga, namanya ikut sirna bersama jasadnya setelah mati. Inilah yang saya maksud dengan matinya seorang penulis.

Sekarang saya mau bertanya, menurut anda, menulis itu mudah apa ssngat mudah? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun