Ada yang menjawab: "Pasti salam yang minta dibalas Presiden".
"Kalau Presiden nggak mau jawab?"
"Berarti salamnya pasti lenyap tidak berbekas dihembus nafas bersama angin yang bertiup lepas bebas."
Lalu ada yang bertanya lagi: "Bagaimana sih cara membalas salam gituan?"
Ada yang menjawab: "Bisa macam-macam, tergantung keberpihakannya.
Kalau dari pihak kelompok yang satu paham perjuangan mungkin salam itu akan dibalas  dengan kata k-o-m-p-a-k, m-a-n-t-a-p atau d-a-h-s-y-a-t atau mungkin disambut dengan takbir.
Kalau dari pihak yang netral mungkin akan dijawab juga cukup dengan kata s-a-l-a-m.Â
Kalau dari pihak yang tidak sepihak mungkin akan dijawab dengan kata-kata semoga kalian mendapat PetunjukNYA yang pasti benar."
Ada yang bertanya pula: "Apa ada petunjuk yang tidak benar?"
"Ya pasti adalaah? Soalnya menjelang Pilkada dan Pilpres adalah musim "pasaran politik" jual-beli kekuasaan yang berbentuk suara rakyat, jual diri untuk laku dipilih, menjual ramalan-ramalan yang memenangkan dan juga musim tuyul-tuyul gentayangan menjual jasa dengan membeli suara rakyat sambil membacakan mantera-mantera berbau kemenyan bermerek SARA. Seperti Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu.
"Kalau presiden dapat "salam 212." Kira-kira bagaimana balasan salam dari Presiden?"