Mohon tunggu...
Ashari Setya
Ashari Setya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lelaki, manusia, terbuat dari tanah, bernafas dengan paru-paru, memakan nasi, meminum air.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perlukah Kita untuk Benar-benar Merdeka

21 Agustus 2016   11:33 Diperbarui: 21 Agustus 2016   11:48 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal 17 Agustus tiap tahun selalu diperingati oleh rakyat Indonesia dimanapun ia berada. Pekikan kata ‘Merdeka…Merdeka…merdeka’ selalu terdengar di setiap sudut negeri seperti tak ada habis-habisnya. Ya, karena 17 Agustus 1945 adalah hari besar bagi negara Indonesia. Pada tanggal itulah Definisi kata merdeka termanifestasikan secara nyata melalui pembacaan Proklamasi.

Tahun demi tahun bergulir sejak tahun 1945 hingga sekarang, 71 Tahun sudah. Tetapi pekikan kata merdeka tak kunjung reda, bahkan makin menjadi-jadi. Apakah kita memang tak pernah merdeka? Apakah merdeka kemudian adalah tujuan dari kehidupan bernegara kita? Apakah merdeka adalah segala-galanya?

Apa dengan merdeka kita boleh bicara apa saja dan melakukan apa saja yang kita mau? Apa dengan merdeka kita bisa melakukan apa saja demi kepentingan perut dan nafsu kita sendiri? Apa dengan merdeka kemudian memberi izin bagi kita untuk menyakiti, dan melukai sesama demi mencapai ambisi pribadi?

Merdeka memang menjadi hal yang kita idam-idamkan. Tetapi, percayalah. Merdeka adalah hal yang utopis. Kita tak akan pernah benar-benar menjadi merdeka-semerdekanya hingga akhir kisah perjalanan hidup manusia. Dalam hidup selalu ada hal-hal atau batasan-batasan yang membuat kita tak bisa benar-benar merdeka. Entah itu berupa keadaaan, norma, adat-istiadat, sopan santun dan rasa ewuh pakewuh yang mau tidak mau membuat kita ikhlas untuk mengorbankan kemerdekaan diri kita sendiri.

Batasan Bersifat Cair

Memang, hal-hal atau batasan-batasan yang membuat kita tak merdeka itu bersifat cair dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Dahulu, batasan yang membuat kita tak merdeka sangat mencolok. Rasisme begitu terlihat. Strata golongan penduduk sangat tampak. Penduduk berkulit putih dan priyayi dianggap lebih unggul dari orang berkulit gelap. Orang eropa berkulit putih dianggap lebih unggul ketimbang pribumi. Kaum perempuan dahulu sangat didiskriminasikan untuk hanya berurusan dengan pekerjaan rumah dan suami. Sehingga menyebabkan kaum yang terdiskriminasi saat itu sulit untuk bergerak mengembangkan dirinya dan hidup bermasyarakat.

Tetapi, sekarang, semua orang dianggap sama dan setara. Sekarang lebih merdeka, sangat merdeka atau bahkan kelewat merdeka dalam hal-hal tertentu. Semua bisa melakukan apa saja yang orang lain bisa lakukan. Perempuan menjadi pilot atau supir bus pun tak ada masalah. Perempuan menjadi pemimpin pun tak masalah. Masyarakat kulit hitam menjadi presiden dan panutan dunia pun tak ada masalah.

Namun, sayangnya makin lama orang makin kebablasan dengan kemerdekaannya. Setiap orang merasa berhak untuk mencemooh, menginjak, menindas dan menyakiti sesama. Setiap orang berhak untuk mengeluarkan apa saja yang menjadi isi hatinya meski menyakiti sesamanya , melakukan apa saja asal ambisi dan cita-cita pribadinya terpenuhi.

Barangkali, seseorang juga merdeka untuk menjadi benalu atas dasar kemerdekaan pribadinya. Merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri. Merdeka untuk menjadi setan dan iblis serta harus dilindungi eksistensinya atas dasar Hak untuk Merdeka. Koruptor pun kalau bisa harus tetap dibiarkan menjadi koruptor. Karena dia punya hak merdeka atas dirinya sendiri untuk memilih menjadi koruptor. Kalau Merdeka diartikan seperti ini lalu buat apa kita merdeka? Jika merdeka diartikan seperti ini hancurlah negara. Bukan hanya hatiku yang hancur kalau kata Almarhum Olga Saputra.

Merdeka bisa menjadi merdeka jika dengan seseorang dengan kemerdekaannya dapat menghormati hak-hak kemerdekaan orang lain. Merdeka bisa menjadi merdeka jika dengan dengan kemerdekaanya kita bisa mengerti akan batasan kemerdekaan kita dan tidak mendzolimi orang lain. Kemerdekaan bukanlah segalanya. Karena Kemerdekaan hanyalah jalan untuk menemukan batasan-batasan.

Pramoedya Ananta Toer, dalam roman Bumi Manusia pernah berpesan, “Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas”.

Pengenalan akan batas kemerdekaan diri adalah ikhtiar manusia sepanjang zaman. Ada pro dan kontra. Tapi harus tetap dibicarakan atas dasar perkembangan zaman. Oleh karena itulah kita tetap harus berjuang untuk mencari apa itu Kemerdekaan yang kemudian dapat kita manifestasikan dalam keseharian kita.

Sumber: blog pribadi (https://asharisetya.wordpress.com/2016/08/19/perlukah-kita-untuk-benar-benar-merdeka/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun