Secangkir teh pagi ini, membuatku merapal memori yang tak ingin diulas lagi. Kubuka lembaran album usang yang bangai mengoyak ilusi. Aku melebur dalam denyut kejumudan yang tak akan berhenti. Sendiri.
Ketika kusuguhkan zamrud tanpa batas, kau menjelma ilusi yang tak berbalas. Aku tak lagi kau anggap sebagai prioritas. Kau merajut luka yang masih berbekas dalam belukar penghianatan yang teramat jelas. Aku sekarat di ujung tanduk harapan yang kandas.
Kau menikam iktikad yang kubangun dan kupertahankan dan menusuk tajam rangkulan yang kuberikan. Memang mudah untuk memaafkan tapi susah untuk melupakan.Â
Aku yang hanya berperan sebagai tokoh figuran, kau yang lihai mengendalikan alur cerita yang tak seharusnya demikian. Dengan setumpuk kekecewaan, akan ada saatnya dimana kau akan menghargai sebuah titik penyesalan.Â
Siapa yang seorang mafia? Aku ataukah dirimu yang sedingin beku itu.
Bungkam? Ya, kau bungkam dengan ego yang tak pernah hilang.
Kau bungkam dengan menumbuhkan ribuan pertanyaan dan keraguan.
...
Sebuah pesan dari nomormu. "Apa kabarmu?"Â
"Seperti biasa", jawabku mencumbu pilu bagai kaca dihantam batu.
Aku tersenyum di samping jendela, melepas dahaga dengan teh dingin yang dihembus masa. Kupandangi jendela seberang sana. Di depan meja makan kau bercanda dan tertawa dengan seorang wanita. Berdua.
Â
Blitar, 15 Juli 2019