"Berapa NEM mu?" Pertanyaan yang selalu menghantui di telinga kita setelah Ujian Nasional (UN). Tak heran, setiap kali UN datang, rasanya seperti negara api yang datang menyerang. Seakan-akan dunia akan bergoncang dan itu membuat saya belajar mati-matian hingga kepala pusing bukan kepalang. Dari yang biasa tidur 8 jam sehari menjadi 2 hingga 3 jam perhari.Â
Tapi, emang sebenarnya buat apa sih Ujian Nasional itu? Apakah UN benar-benar signifikan dan diperlukan? Apakah dengan nilai UN yang bagus masa depan kita juga akan bagus?
Kita analogikan saja UN sebagai sebuah penggaris dimana UN itu dibuat untuk mengukur seseorang dan untuk membuat anak Indonesia mempunyai kemampuan yang setara.
Tapi, apakah semua murid harus diukur dengan penggaris yang sama? Apakah UN adalah cara terbaik untuk mengukurnya?
Jawabannya pasti bermacam-macam. Apalagi jika soal-soal yang diberikan ngaco seperti kasus kemarin maka tidak heran jika banyak yang tertekan hingga memakan banyak korban.Â
Saya sendiri sempat bertanya-tanya, kenapa UN semakin dipersulit dan belum tentu seorang guru mampu mengerjakan semua mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Guru IPA pasti hanya bisa mengerjakan soal IPA, guru bahasa juga hanya bisa mengerjakan soal bahasa.
Memang saat ini pemerintah telah membuat aturan UN bukan sebagai penentu kelulusan, tapi seorang anak bahkan saya sendiri pun pasti mempunyai sugesti bahwa orang tua akan marah jika nilai mereka jelek, malu dengan teman-teman, tidak bisa masuk sekolah favorit, dan seterusnya. Hal itu menjadi penyebab stress hingga muncul banyaknya kasus bunuh diri.
Jika kita bandingkan dengan negara lain, nyatanya sistem pendidikan itu berbeda-beda. Misalnya, ada negara-negara yang tidak memakai UN seperti Finlandia yang notabenenya dikenal dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.Â
Berbeda dengan Indonesia yang musim ujiannya lebih sering dibandingkan dengan musim rambutan, di Finlandia musim ujiannya hanya sekali yaitu ketika masuk ke perguruan tinggi tanpa melaksanakan UN. Seperti halnya di Jerman yang meniadakan sistem UN dengan membagi jenjang SMP menjadi 5 jenis sekolah supaya muridnya bisa belajar sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Atau Singapura yang sama-sama menggunakan sistem UN namun dengan dukungan guru kualitas jempol bisa menduduki peringkat 1 di bidang sains, membaca, dan matematika. Meskipun juga mengadakan UN seperti Indonesia, tapi skornya jauh beda dengan Indonesia yang memiliki skor lebih rendah daripada negara tetangga.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!