Mohon tunggu...
Asfar Syafar
Asfar Syafar Mohon Tunggu... Peternak - Sebuah peringatan. Untukku yang semakin lupa tentang bahagianya menulis.

Email: asfarsyafar@gmail.com Blog: asfarsyafar.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Energi Terbarukan untuk Mama

31 Desember 2015   09:26 Diperbarui: 31 Desember 2015   09:26 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang wanita paruh baya berusia sekitar 45 tahun nampak sibuk di dapur. Tiba-tiba dipanggilnya sang anak yang masih berusia 7 tahun. “Aco, pergiko dulu beli minyak tanah, mauki masak nasi na tidak ada isinya kompor”, begitu perintahnya. Begitulah kehebohan kecil di rumah kami tiap kali aktifitas memasak Mama tertunda sebab kompor kehabisan bahan bakar. Kejadian itu tiba-tiba saja teringat dalam pikiran saya, kejadian belasan tahun silam saat kami masih menggunakan kompor bersumbu untuk memasak segala kebutuhan perut. Di masa itu masyarakat di sekitar rumah kami mulai berbondong-bondong beralih dari penggunaan tungku ke kompor minyak tanah, isu lingkungan katanya. Pohon-pohon semakin sedikit untuk ditebang diambil kayunya, belum lagi hawa panas dan perabotan yang menghitam setelah digunakan. Beberapa tahun kemudian tepatnya di tahun 2007, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru. Pengalihan dari penggunaan minyak tanah ke gas alam, tabung-tabung hijau berukuran 3kg nampak berseliweran dimana-mana. Harga minyak tanah mulai melambung jauh dan kian sulit didapatkan, alasannya cadangan minyak bumi semakin menipis katanya. Sekarang saat gas bumi semakin menyatu dalam kebutuhan masyarakat, Mama saya kemudian gusar. Bagaimana kalau nantinya cadangan gas juga ikut-ikutan habis? Pakai apa kita kalau mau masak? Saya hanya tersenyum tiap kali kegusaran itu muncul. Saya yakin ada sekelompok pemangku kepentingan di Jakarta sana yang senantiasa berpikir dan berusaha untuk menyediakan kebutuhan memasak Mama, berkutat dengan waktu untuk menemukan dan mengembangkan sumber-sumber energi alternatif lain yang siap digunakan ketika kemungkinan terburuk itu datang.

Ketahanan Energi Bersama Pertamina

Angin segar berhembus di penghujung tahun 2015, asalnya dari Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Ya! Secara resmi Pertamina teken kontrak untuk pengelolaan blok Mahakam, hal tersebut ditandai dengan penandatanganan kontrak kerjasama oleh Direktur PT. Pertamina Hulu Mahakam Ida Yusmiati bersama Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Amien Sunaryadi. Kontrak ini merupakan bonus akhir tahun sekaligus tanggung jawab yang besar bagi Pertamina untuk 20 tahun kedepan, terhitung sejak 1 Januari 2018 hingga 31 Desember 2038 segala aktifitas produksi minyak dan gas bumi di sana berada di bawah pengelolaan PT. Pertamina. Tentunya ini bukanlah bonus biasa, Blok Mahakam sendiri dikenal sebagai salah satu ladang gas terbesar di Indonesia. Meski produksi dan pengurasan secara besar-besaran telah dilakukan, diperkirakan masih tersisa cadangan 2P minyak sebesar 131 juta barel dan cadangan 2P gas sebanyak 3,8 TCF [1].

Isu ketahanan dan kemandirian energi memang masalah penting yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Ketahanan sendiri hanya bisa tercapai apabila suatu negara telah mandiri dan berdaulat memenuhi kebutuhan energinya. Apabila telah terpenuhi, maka dibutuhkan upaya keberlanjutan dan konsistensi pemenuhan pasokan energi agar suatu negara dapat disebut bertahan. Karen Agustiawan dalam pidatonya di The Center for Strategic and International Studies Washington D.C menyatakan bahwa secara sederhana ketahanan energi berhubungan dengan mengamankan energi masa depan suatu bangsa dengan cara mendapatkan sumber daya energi yang stabil dan berkecukupan dengan harga terjangkau. Pertamina sendiri sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang menjalankan pengelolaan sumber daya energi di Indonesia telah berupaya melakukan yang terbaik, bahkan di usianya yang ke-58 Pertamina tak hentinya mengeksplorasi dan berusaha untuk menyediakan energi yang murah dan berkecukupan di masa sekarang dan akan datang. Berdasarkan kontrak dengan SKK Migas pada 17 September 2005, hingga saat ini Pertamina masih menjadi top leader pengelola lapangan migas dengan luas wilayah kerja sekitar 113.613.90 202 km2. Wilayah kerja Pertamina berlokasi hampir di seluruh wilayah Indonesia, untuk pengelolaan wilayah kerja Pertamina menerapkan dua pola kerja, yaitu pengoperasian sendiri (own operation) dan kerja sama kemitraan.

Selain di dalam negeri, Pertamina juga melakukan pengembangan eksplorasi migas di luar negeri. Pada 29 November 2014, melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Irak EP, telah menyelesaikan proses akuisisi 10% Participating Interest (PI) pada lapangan West Qurna Phase-1 (WQ1) di Irak dari ExxonMobil yang mempunyai cadangan sebanyak 22 miliar barel. Sebelumnya, pada tahun yang sama Pertamina juga telah mengakuisisi Blok 405A milik Conoco Philips di Aljazair, yang terdiri atas tiga lapangan minyak utama, yaitu Menzel Lejmat North (MLN), EMK, dan Ourhoud. Pertamina memiliki 65% PI dan sekaligus bertindak selaku operator di lapangan MLN, sedangkan di lapangan EMK, Pertamina memiliki 16,9% PI dan di lapangan Ourhoud sebesar 3,7% [2]. Sedangkan untuk produksi gas alam Pertamina tak kalah tangguh. Berdasarkan data SKK Migas (Status Februari 2013), Pertamina termasuk salah satu dari 10 perusahaan pemasok gas alam terbesar di Indonesia. Dari 10 perusahaan tersebut, dua di antaranya adalah perusahaan dalam negeri, yaitu Pertamina dan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ (anak perusahaan Pertamina).

Meskipun telah menunjukkan track record yang baik selama lebih dari setegah abad perjalanannya melayani negeri, Pertamina juga kerap kali menghadapi hambatan dan masalah. Beberapa diantaranya:
  1. Kilang minyak Pertamina semuanya telah berumur rata-rata di atas 30 tahun. Berdasarkan teknologi yang dipakai, kilang minyak Pertamina yang dibangun sebelum tahun 1970 berkategori low processing yang dirancang untuk mengolah minyak ringan. Setelah 1970, Pertamina baru membangun teknologi high processing untuk mengolah minyak berat. Dengan kondisi seperti ini, kualitas kilang di Indonesia bisa disebut tidak efisien, dan kompleksitasnya rendah. Walaupun begitu, sampai saat ini masih belum ada penambahan kapasitas kilang minyak baru. Rencana pembangunan kilang sebetulnya sudah dibuat pada Desember 2005. Misalnya rencana pembangunan di Tuban, Pare-Pare dan kilang Bojonegoro. Namun sampai saat ini, rencana tersebut tidak terwujud. Kini Indonesia kembali merencanakan pembangunan dua kilang minyak baru dengan kapasitas masing-masing 300.000 bph, yaitu Kilang Balongan Baru Indramayu yang ditargetkan beroperasi pada 2017 dan Kilang Tuban yang ditargetkan beroperasi pada 2018.
  2. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan energi belum mencerminkan semangat nasionalisme. Sebagai contoh, pada 15 Maret 2006, pemerintah telah menandatangani kontrak baru perpanjangan operasi Exxon untuk ladang minyak di Cepu hingga 2030. Blok Cepu memiliki cadangan minyak minimal 600 juta barel, dengan cadangan gas pasti minimal 2 tmmcf (triliun standar kaki kubik) [2]. Langkah tersebut terbilang ironis karena sebenarnya Pertamina mempunyai kemampuan, baik secara fiansial maupun sumber daya manusia (SDM) dan teknologi untuk mengelola Blok Cepu. Peristiwa penandatanganan itu telah menghilangkan peluang Pertamina untuk lebih memiliki daya saing dalam kancah industri migas global. Perusahaan negara ini juga kehilangan peluang dalam pemberdayaan SDM dalam negeri untuk kemandirian bangsa dalam menuju kedaulatan energi.
  3. Turunnya produksi migas sejak 2001, inefisiensi dalam tata kelola, dan lemahnya ketahanan energi nasional akibat dari terus meningkatknya impor minyak. Kondisi ini terjadi karena adanya aktor mafia migas yang memiliki kedekatan dan dapat mempengaruhi para pejabat pengambil keputusan. Kehadiran mafia migas sudah diakui keberadaannya oleh pemerintah saat ini. Menteri Negara BUMN Rini M. Soemarno mengakui praktik-praktik mafia migas itu ada. "Mereka beroperasi lewat beragam regulasi (tata kelola) resmi yang ada. Praktik tersebut bisa terwujud lantaran ada banyak pihak yang terlibat". Hal senada juga diakui oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Menurut beliau, mafia migas itu mencari keuntungan dari pengelolaan sektor migas yang tidak transparan. Contohnya, salah satu sistem yang diciptakan mafia soal cara PLN membeli gas dari pihak ketiga untuk keperluan pembangkit listrik. Padahal, gas tersebut diproduksi Pertamina. “Kenapa PLN tidak membeli saja langsung ke Pertamina? Itu ulah mafia. Kenapa kilang minyak negara tidak segera dibangun? Itu karena kita dalam cengkeraman pengimpor minyak,” kata Sudirman [3].

Saat ini, pembangunan kilang baru sudah sangat mendesak. Keberadaan kilang baru dapat menjamin ketahanan energi nasional dalam jangka panjang karena dapat menghentikan ketergantungan pada BBM impor. Selama ini, pembangunan kilang di dalam negeri tertunda-tunda. Akibatnya, Indonesia selalu tergantung pada para pemain besar impor minyak karena Indonesia tak punya stok minyak untuk jangka lama. Sedangkan mafia migas dapat dilawan selama pemerintah mau membangun sistem tata kelola yang transparan. Cara ini akan ampuh untuk menghentikan praktik mafia atau setidaknya meminimalkan ruang gerak mafia migas di Indonesia. Lebih daripada itu, Pertamina membutuhkan dukungan penuh pemerintah baik dari sisi regulasi maupun kewenangan untuk mengelola sumber daya energi negeri ini agar mencapai ketahanan energi nasional yang diimpikan. Terlebih lagi Pertamina sebenarnya punya potensi menjadi perusahaan energi kelas dunia yang mampu bersaing dengan perusahaan asing.

Landfill Gas sebagai Energi Terbarukan

Ketahanan energi menjadi agenda prioritas dalam pembangunan nasional saat ini dan di masa akan datang. Kebijakan pembangunan nasional memberi arah pengelolaan energi untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi dalam mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengurangi ketergantungan pada energi fosil, membiasakan pola hidup hemat energi dan mengarahkan pada penggunaan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Energi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengacu pada kemampuan untuk melakukan kerja atau daya (kekuatan) yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan. Sedangkan energi terbarukan adalah energi yang pada umumnya merupakan sumber daya non fosil yang dapat diperbaharui dan apabila dikelola dengan baik maka sumber dayanya tidak akan habis. Beberapa contoh energi terbarukan yang coba dikembangkan saat ini antara lain pemanfaatan energi panas bumi (geothermal), biofuel, tenaga air, tenaga nuklir, energi arus laut, bahan bakar nabati dan energi dari sampah. Lantas, dari sekian banyak energi terbarukan tersebut energi manakah yang paling cocok diprioritaskan oleh Pertamina saat ini?

AHA, Eureka! Pemanfaatan energi dari sampah nampak menjanjikan untuk dikembangkan. Mengapa tidak? sekali jalan dapat menyelesaikan dua permasalahan sekaligus, kekurangan energi dan kelebihan sampah. Dua masalah serius yang paling butuh penyelesaian di kota-kota besar saat ini. Lalu bagaimana ceritanya sehingga sampah yang bau dan kotor itu bisa menjadi sumber energi yang dapat digunakan dalam keseharian?. Energi sampah atau landfill gas (LFG) merupakan energi terbarukan yang memanfaatkan biogas yang berasal dari sampah. Sebenarnya landfill gas bukanlah suatu hal yang baru bagi beberapa negara. Swedia sebagai negara pelopor landfill gas telah melakukan penelitian dan pengembangan energi ini sejak tahun 1950. Bahkan saat ini 80% pemenuhan energi nasional Swedia dipenuhi melalui landfill gas. Landfill gas adalah biogas pada umumnya, namun berasal dari sampah. Landfill gas memiliki komposisi 30%-60% metana (CH4) dan 70%-40% karbon dioksida (CO2) yang kemudian dapat dikonversi menjadi energi listrik untuk rumah dan bahan bakar untuk memasak. Ada banyak keuntungan dari penggunaan landfill gas. Sifatnya yang terbarukan dan dapat berkontribusi untuk kelestarian alam dengan mengurangi efek rumah kaca yang dihasilkan oleh Tempat Pembuangan Akhir, dalam hal ini juga turut menyelesaikan masalah pemerintah dalam hal mengatasi sampah yang kian banyak.

[caption caption="Sumber : http://www.aeieng.com/index.php/sustainability/landfill_gas"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun