Mohon tunggu...
ASEP TOHA
ASEP TOHA Mohon Tunggu... wiraswasta -

Keikhlasan yang diiringi rasa syukur adalah kunci keberhasilan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gurita Mapia Tanah Tegalwaru Landen Karawang

25 September 2012   09:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44 2212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GURITA MAPIA TANAH TEGALWARU LANDEN

Kisah kelam kasus tanah di Mesuji sampai memakan korban jiwa, termasuk
di beberapa daerah lain di Indonesia harusnya menjadi sebuah
pembelajaran berharga bagi pemerintah, bahwa praktek kotor mafia yang
melibatkan oknum pertanahan dan peradilan masih terjadi dan perlu
diselesaikan. Sepertinya yang terjadi di atas tanah rakyat ex
Tegalwaru Landen, Kecamatan Telukjambe, Kabupaten Karawang, kalau
Pemerintah masih tetap membego dan tutup mata atas sengketa tanah yang
sampai saat ini masih berlangsung, tidak menutup kemungkinan tragedi
pertumpahan darah terjadi pula di tanah Telukjambe, Karawang.

Potensi konflik berdarah ini disebabkan oleh berkepanjangannya
sengketa tanah seluas 350 ha yang terletak di Desa Margamulya, Desa
Wanasari, dan Desa Wanakerta, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten
Karawang antara masyarakat dengan PT. Sember Air Mas Pratama (PT.
SAMP). Masyarakat menyatakan bahwa tanah itu adalah tanah milik adat
yang telah mereka diami dan garap sejak lima puluh tahun silam,
sementara PT. SAMP mengklaim telah mendapatkan tanah tersebut dari PT.
Makmur Jaya Utama (PT. MJU) yang diambilnya dengan cara oper garap.
PT. MJU sendiri mendapatkan tanah itu dari PT Dasa Bagja melalui oper
Hak Guna Usaha (HGU). Walaupun sampai saat ini, baik HGU yang diajukan
oleh PT. Dasa Bagja belum mendapatkan ijin dari Kementrian Dalam
Negeri maupun Menteri Agraria, begitu pula Hak Guba Bangunan (HGB)
yang diajukan PT. SAMP, belum pernah direalisasikan oleh pemerintah.
Hal inilah yang menjadi dasar penolakan dan perlawanan masyarakat atas
klaim PT. SAMP.

Selain dasar di atas, masyarakat menolak dan melawan atas klaim PT.
SAMP, karena sampai saat ini masyarakat tidak pernah membebaskan
tanahnya kepada siapapun, termasuk PT. SAMP. Faktanya, sampai saat ini
yang menempati, menggarap, dan membayar pajak atas tanah tersebut
adalah masyarakat yang berada di atas tanah sengketa tersebut. Memang
masyarakat mengakui, pernah menyewakan tanah mereka kepada PT. Dasa
Bagja selama tiga tahun, yaitu sejak 1974 sampai tahun 1977. Namun,
karena masa sewa habis dan HGU yang diajukan oleh PT. Dasa Bagja
kepada Menteri Dalam Negeri tidak dikabulkan, maka tanah tersebut
ditinggalkan dan masyarakat kembali menggarap tanah-tanah mereka,
termasuk membayar pajaknya sesuai dengan yang tertera dalam girik,
SPPT, dan buku C desa.

Dampak dari penolakan masyarakat atas PT. SAMP berbuntut panjang,
saling gugat pun terjadi, mulai dari perdata, pidana, sampai Tata
Usaha Negara. Hasilnya, tentu masih tidak sesusi dengan apa yang
diharapkan semua pihak, sebab dari hasil beberapa persidangan,
terdapat putusan yang berbeda-beda, bahkan saling tumpang tindih.
Putusan yang satu memenangkan masyarakat, sementara dalam putusan lain
memenangkan PT. SAMP. Padahal objek yang disengketakannya tetap sama.
Dugaan-dugaan keterlibatan berbagai pihak baik kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, maupun BPN pun muncul karena ketidak konsistenan putusan
hukum pada setiap proses peradilan atas sengketa tanah tersebut.

Proses Redistribusi
Seiring dengan kemerderkaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945,
terjadi pula penyerahan berbagai aset pemerintah Kolonial Belanda
kepada Pemerintah Indonesia, diantaranya penyerahan tanah-tanah
penguasaan atau pertuanan yang kemudian dikenal dengan tanah
partikelir. Salah satunya penyerahan tanah Partikelir Eigendom
Perponding No. 53 NV. Tegal Waroe Landen dari Mij Tot Exploitatie
Vande sebagai penguasa tanah kepada Pemerintah Indonesia pada 17 Mei
1949.

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir pada 24 Januari 1958, maka seluruh tanah
partikelir dibagi menjadi dua macam, yaitu Tanah Usaha dan Tanah
Kongsi atau tanah negara. Tanah Negara inilah yang bisa dimohon
menjadi hak milik dengan cara Redistribusi.

Terkait proses redistribusi, maka pada 8 Januari 1962, Menteri
Pertanian dan Agraria mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
SK.30/Ka/1962. Pertimbangan keluarnya SK. 30/Ka/1962 itu karena
diantara tanah-tanah Partikelir yang terkena UU No. 1 tahun 1958
banyak yang merupakan tanah pertanaian, setelah dikurangi bagian tanah
usaha yang diberikan kepada rakyat yang mempunyai hak usaha atas tanah
itu, sementara bagian tanah bukan tanah usaha diberikan kembali kepada
bekas pemilik sebagai ganti-rugi, tanah-tanah inilah yang kemudian
dapat dibagikan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan Landreform.

SK. 30/Ka/1962 juga menjadi dasar terbentuknya Panitia Landreform
Kabupaten Karawang pada 17 Juni 1965 melalui melalui Surat Bupati
Karawang No. 29/PLD/VIII/52/1965. Tugas Panitia Land Reform
sebagaimana amanat PP No. 224 tahun 1961 dan SK Bupati Karawang adalah
menyelesaikan secara administrasi atau redistribusi atas objek Tanah
Landreform tanah partikelir eks Tegalwaroe Landen yang berada di
Kecamatan Telukjambe Kabupaten Karawang. Tujuannya memastikan status
kepemilikan atas tanah tersebut, sebab di dalamnya terdapat masyarakat
yang sudah lama menggarap, bahkan sebelum UU No. 1 tahun 1958 lahir.

Ketika masa tugas Panitia Landreform itu berlangsung, terjadi gejolak
sosial, politik, pertahanan, dan keamanan negara yang disebabkan oleh
tragedi Gerakan 30 september 1965, Partai Komunis Indonesia. Situasi
ini membuat Menteri Agraria mengeluarkan Surat Keputusan No. SK.
88/Depag/1965, tentang Penghentian Untuk Sementara Semua Kegiatan
Anggota-anggota Landreform Pusat/Daerah Yang Mewakili Barisan Tani
Indonesia. Dampaknya, proses pendataan atau redistribusi atas tanah
partikelir eks Tegalwaroe Landen menjadi terhenti pula.

Walaupun tugas Panitia Landreform sempat terhenti, namun tugas inti
yaitu melakukan redistribusi tanah, bisa diselesaikan sebelum SK Menag
No. SK. 88/Depag/1965 dikeluarkan. Buktinya, Kantor Dinas Luar (KDL)
Cirebon mengeluarkan Girik (Leter C) atas tanah tersebut sekitar tahun
1972-1973, dengan dasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun
1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas
Tanah. Permendagri ini sebagai tindak lanjut atas dihentikannya proses
redistribusi atas tanah-tanah partikelir. Girik-girik tersebut
kemudian dibagikan kepada masyarakat lalu dicatat dalam Buku C yang
ada di tiap-tiap desa. Girik dan Buku C inilah yang menjadi bukti
administrasi bahwa tanah partikelir exs Tegalwaru Landen pernah
diredis oleh pemerintah dan diberikan kepada masyarakat. Sejak saat
itulah masyarakat menggarap dan membayar pajak mereka berdasarkan
girik dan buku C desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun