Pendahuluan
Berkunjunglah ke Tangerang. Coba jalan-jalan ke daerah Jatake, Cikupa, Balaraja, Manis, Serpong, dan Batu Ceper, kita akan melihat pemandangan pabrik-pabrik yang kini suram, suara mesin manufaktur kian redup, dan angkot-angkot kosong ke jurusan tersebut bahkan pada jam-jam masuk atau keluar kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun dari 22% pada 2014 menjadi hanya 19% pada 2023.Â
Sementara China dan Amerika Serikat, dua raksasa ekonomi dunia, telah melangkah lebih jauh. Mereka mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI) dan robot humanoid dalam lini produksi mereka. Dengan teknologi ini, mereka mampu menghasilkan produk dengan biaya rendah, kualitas prima, dan ketersediaan stok yang tak pernah habis. Akibatnya, pasar Indonesia dibanjiri oleh produk impor, mulai dari elektronik hingga tekstil, menghancurkan daya saing manufaktur lokal.
Di sudut-sudut pabrik yang mulai ditinggalkan, debu perlahan menggantikan hiruk pikuk mesin. Ribuan buruh pabrik kehilangan pekerjaan. Pada 2023, lebih dari 300 ribu pekerja terkena PHK, jumlah yang mencerminkan krisis ekonomi mendalam. Tingkat pengangguran juga melonjak menjadi 5,86%, menciptakan gelombang masalah sosial yang sulit diatasi. Namun, angka-angka ini hanyalah permukaan dari kenyataan pahit. Di baliknya, ada kisah pilu keluarga-keluarga yang kehilangan mata pencaharian, generasi muda yang memasuki dunia kerja tanpa harapan, dan perekonomian yang berjalan di tempat.
Sementara itu, dunia terus berlari. Negeri ini tertinggal dalam revolusi industri berbasis AI. Ketika kita mulai menyadari keharusan untuk bertransformasi, semuanya sudah terlambat. Kekayaan plasma nutfah kita telah habis dicuri oleh bangsa lain, hutan-hutan kita terdegradasi tanpa pemanfaatan strategis, dan ekosistem laut kita rusak karena limbah industri. Biodiversity tumbuhan dan satwa yang dahulu menjadi kebanggaan dan bisa menjadi kekuatan ekonomi alternatif punah.
Keadaan ini adalah peringatan. Jika kita terus bergantung pada sektor manufaktur tradisional, tanpa strategi untuk bertransformasi, Indonesia akan tetap menjadi pangsa pasar dunia, tetapi bukan pemainnya. Apakah kita akan terus menjadi konsumen tanpa kekuatan produksi, atau kita akan bangkit untuk mengambil kendali masa depan kita?
Transformasi ekonomi menjadi kebutuhan mendesak. Indonesia membutuhkan sektor baru yang tidak hanya menjanjikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menyerap tenaga kerja, menciptakan nilai tambah, dan memanfaatkan kekayaan alam negeri ini. SynBio (Biologi Sintetis), teknologi masa depan yang memadukan biologi dan rekayasa genetika, bisa menjadi kunci kebangkitan ekonomi Indonesia.
Apa itu SynBio?
Bayangkan sebuah teknologi yang memungkinkan kita menciptakan bahan bakar dari mikroba, memproduksi vaksin secara cepat, menyerap karbondioksida, menghasilkan energi, atau bahkan menciptakan plastik ramah lingkungan yang terurai dengan cepat di alam. Itulah biologi sintetis. SynBio menggunakan prinsip-prinsip biologi, kimia, dan teknik komputer untuk merancang dan menciptakan sistem biologis baru.
Sejarah SynBio dimulai pada awal 2000-an, saat para ilmuwan berhasil memprogram DNA seperti kode komputer. Hari ini, SynBio telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dolar dengan aplikasi di bidang pangan (daging hasil laboratorium), kesehatan (vaksin mRNA), energi (biofuel), hingga lingkungan (mikroba pembersih limbah).
Potensi SynBio bagi Indonesia