Mohon tunggu...
asep abdillah
asep abdillah Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Membaca dan menulis kesukaan saya sejak kecil. Masa remaja terganggu kebiasaan baru main bola dan futsal. Sekarang ingin kembali meneruskan hobby lama, menulis,... Gasspolll...! Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketimpangan antara Budaya Kosmopolitan dengan Negara Berkembang

22 Maret 2023   22:22 Diperbarui: 1 Mei 2023   16:52 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa sebenarnya dampak dari budaya Kosmopolitan yang paling kentara? Adakah kelemahan dari kemajuan penduduk bumi yang meng global ini bila dipandang secara kultur dan sosial ? Makin enakkah hidup dengan buadaya Kosmopolitan?

Mari kita analisa bersama. Menurut Giddens; salah satu faktor sebuah kota dikatakan kosmopolitan adalah perkembangan globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat. Menurut KBBI; 1. mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas 2. terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal  dari pelbagai dunia.

Analisa sederhana, di Tasikmalaya, kota kelahiran penulis kita berangkat dari rumah masing-masing ke tempat kerja. Kita pukul rata jam. 5.30. aau sebagia jam 6.00 pagi, secara bersamaan, kendaraan roda empat dan roda dua dari berbagai penjuru kota dan desa, keluar dari rumah memakai jalan yang sama sehingga kendaraan padat dan cenderung macet di tempat-tempat tertentu. Kemudian di pertigaan sekolah atau kantor, menuju tempat kerja yang lainnya, tersendat dengan lalu-lintas masuk kampus pendidikan dan atau kantor. Volume dan jumlah kendaraan bertambah, jalan masih tetap tak bertambah. Kemudian kemudahan akses mendapatkan kendaraan, baik mobil ataupun motor, telah 'memaksa' kaum kosmopolitan dari berbagai profesi, agama dan suku berbaur untuk pergi dengan kendaraan pribadi daripada menggunakan kendaraan umum seperti angkot dan yang lainnya supaya lebih cepat dan praktis. Angkutan umum sejenis angkot dan saudara-saudaranya nyaris bangkrut dengan keadaan ini. Budaya kosmopolitan telah merugikan sebagian kaum jasa sewa mobil.

Analisa pertama ; karena budaya kosmopolitan tak bisa dibendung, akhirnya oleh penduduk atau masyarakat yang belum siap dalam masyarakat negara berkembang, yang infrastrukturnya belum siap kelabakan. Alih-alih dengan banyak kendaraan dan motor pribadi memudahkan perjalanan, malah menjadi makin  cape dan stres karena macet dimana-mana di perjalanan tatkala pergi ke tempat kerja.

Apa untungnya menjadi warga dunia kosmopolitan ini? Tentu  ada banyak manfaat yang dirasakan. Pertama ; Berbagai kemudahan akses terutama di sektor sosial media. Hari ini, untuk urusan keperluan sandang, pangan dan papan dapat dilihat, dipelajari dan dibeli secara online dengan biaya dan tenaga seminimal mungkin. Dunia dalam genggaman. Akses Teknologi informasi tersedia di segala ruang publik.

Kedua, di negara tercinta ini,  masyarakat  kebanyakan menginginkan perbaikan. Contohnya termasuk memimpikan jalan yang licin dan mulus. Ketika jalan berlubang disana-sini, cepat protes, bahkan dengan menanam pohon pisang di tengah jalan. Tak lama kemudian pemerintah mengabulkan dan memperbaiki jalan tersebut. Maka jalanpun licin dan enak untuk dilalui  berkendara. Tak lama berselang kemudian dibuatlah gundukan-gundukan atau rintangan ( orang-orang menyebutnya polisi tidur) dengan harapan para pengendara tidak mengebut lewat jalan tersebut. Sebenarnya kemauan sebagian masyarakat di negara ini apa ya? Suatu kali pernah penulis masuk kedalam suatu perumahan. Alhamdulillah, jalan di perumahan itu berjarak dua atau tiga meter sarat dan padat gundukan aspalnya atau polisi tidurnya yang tinggi-tinggi. Maka seisi mobil pun tertawa. Menertawakan diri sendiri, karena badan ini turun naik, laksana naik odong-odong anak yang disewa di super market atau mini market itu. Akhirnya, kita harus legowo, dan berbesar hati bahwa kemajuan dan budaya kosmopolitan harus dibarengi dengan jiwa kesabaran berlebih. Jika tidak, maka stres dan panik yang akan menjangkiti. Bisakah kemakmuran diukur dengan hanya, banyaknya para relawan yang meminta jasa memebelokkan kendaraan dipertigaan atau perempatan jalan?  gejala sosial apakah ini?  Dapatkah  parameter kemakmuran diukur dengan fenomena, betapa masih ada banyak orang-orang yang tak punya pekerjaan tetap, dan akan muncul seperti tatkala ada jembatan roboh? kemudian mereka  bergantian  menjaga mengatur laju kendaraan, dan  meminta balas jasa? Dimanakahmereka jika tak ada proyek dadakan seperti itu? Kadang kehidupan ditengah budaya kosmopolitan ini memang aneh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun