"Today a reader, tomorrow a leader." - Margaret Fuller
Di antara tumpukan kutipan motivasi yang sering berlalu begitu saja, kalimat ini terasa seperti mantra kuno yang ditulis dengan tinta pemahaman mendalam: hari ini membaca, esok memimpin. Margaret Fuller, jurnalis dan sastrawan terkemuka Amerika di abad ke-19, tak sekadar menyusun kata. Ia menorehkan kebenaran abadi, bahwa pemimpin sejati tumbuh dari kedalaman pikiran, bukan hanya dari panggung pencitraan.
Namun hari ini, ketika buku bersampul kulit kalah pamor dari layar sentuh, ketika algoritma lebih berkuasa daripada argumen, masihkah kutipan itu berdiri kokoh?
Mari kita bedah bersama: apa hubungan antara membaca dan memimpin, dan di mana posisi Indonesia dalam narasi besar ini?
Membaca dan Memimpin: Bukan Sekadar Slogan
Membaca bukan hanya aktivitas menyalin informasi dari halaman ke kepala. Membaca adalah proses transformasi dalam diam. Ia mengasah nalar, memperkaya imajinasi, dan membuka ruang kontemplasi. Orang yang gemar membaca belajar melihat dunia lewat banyak kacamata, bukan hanya dari sudut pandangnya sendiri.
Inilah mengapa membaca melahirkan pemimpin.
Bukan pemimpin yang cepat bereaksi karena panik, tapi pemimpin yang mampu mengambil keputusan dengan tenang. Bukan pemimpin yang hanya fasih berbicara, tapi yang kuat dalam mendengarkan dan memahami.
Dan sejarah membuktikan ini.
Bung Karno membaca ratusan buku dari Marx, Rousseau, hingga Gandhi. Nelson Mandela membawa Shakespeare dalam sunyi penjara. Bahkan Barack Obama menulis dan membaca secara konsisten untuk menjaga kejernihan pikirannya di tengah badai politik. Membaca bukan aksesoris bagi mereka. Ia adalah fondasi.
Indonesia dan Literasi: Potensi yang Terabaikan
Di sinilah ironi dimulai. Indonesia memiliki jumlah pelajar dan mahasiswa yang besar, kurikulum pendidikan yang luas, serta gerakan-gerakan literasi di berbagai daerah. Tapi jika kita telisik lebih dalam, budaya membaca belum benar-benar hidup.
Data dari UNESCO sempat menggemparkan publik: minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari 1.000 orang, hanya 1 yang rajin membaca. Sementara itu, menurut survei Most Literate Nation dari Central Connecticut State University (2016), Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Dan bahkan di era internet, minat baca tidak serta merta meningkat, yang meningkat hanyalah konsumsi visual dan hiburan instan. Dan itu realita yang terjadi di kalangan pelajar kita.