Oleh: Asep Totoh
Ditinjau dari kuantitasnya etnis Sunda merupakan etnis terbesar setelah Jawa, dengan jati diri Ki Sunda yang secara historis berakar dari masa lampau yang bertitik tolak dari masa kerajaan. Jati diri itu ditunjukkan oleh karakter yang tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat.
Jika melihat masa kerajaan di Tatar Sunda berlangsung sangat lama, lebih-kurang 13 abad (pertengahan abad ke-4 sampai dengan akhir abad ke-16), maka tidak aneh jika jati diri Ki Sunda pun mengakar dengan kuat. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah Ki Sunda, jati diri itu cenderung berangsur-angsur luntur bahkan sekarang dikhawatirkan jika banyak orang Sunda yang terkesan kehilangan jati diri.
Menonton salah satu tayangan youtube Kang Dedi Channel tanggal 06 Mei 2021, tayangan tentang lukisan truk sosok Kang Dedi Mulyadi dengan tulisannya "Nulung kanu butuh, Nalang kanu susah, Nganteur kanu sieun dan Nyaangan kanu poekeun".
Menarik sekali empat kalimat yang tersemat dalam lukisan berbicara sosok pemimpin dan kepemimpinannya, kalimat itu pun bisa menginspirasi semua orang untuk saling tolong menolong dan memanusiakan manusia seutuhnya.
Setelah menjabat Bupati Purwakarta dua periode (2008-2018), Kang Dedi Mulyadi dipilih rakyat menjadi anggota DPR RI. Tampilannya khas, unik, selalu memakai Iket Sunda di kepalanya, dan pangsi (baju dan celana) Sunda, yang menggambarkan kecintaannya kepada budaya Nusantara. Sejatinya, beliau salah satu figur yang menghayati betul pesan Bung Karno, "Berkepribadian dalam kebudayaan".
Saat ini hemat penulis bagi semua pemimpin dan para wakil rakyat, khususnya yang dicontohkan Kang Dedi Mulyadi harus selalu hadir sebagai sosok yang merakyat dan pro-rakyat, hatinya teriris menyaksikan kemiskinan, tangannya sigap terulur untuk selalu peduli (care) dan selalu berbagi (share) kepada kaum fakir miskin.
Tugas lain Kang Dedi sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, beliau mampu hadir sebagai tokoh pluralis, sosok nasionalis dan aktif mengampanyekan toleransi, sekaligus politisi yang giat melestarikan kebudayaan dan memiliki keberpihakan kuat terhadap nelayan, petani dan lingkungan hidup. Beliau politisi yang hadir dan memiliki ikatan kuat dalam kebudayaan lokal menghasilkan sikap inklusif, saling hormat-menghormati, bela rasa, solidaritas dan gotong-royong.
Menyoal orang Sunda, memang memiliki karakteristik yang berbeda dengan suku lainnya, dalam penelitian Rahman (2018) di Kabupaten Purwakarta yang mengidentifikasi delapan karakteristik orang Sunda yaitu sopan dan santun, ramah, suka bergotong royong, lembut dan penyayang, gemar bergaul, agamis, kreatif dan rajin, serta toleran. Temuan ini memang tidak cukup mewakili dan tidak bisa digeneralisi kepada seluruh masyarakat Sunda.
Selalu menarik mencermati bagaimana kepemimpinan orang Sunda, fenomena kepemimpinan saat ini tidak bersifat unidimensional. Dewasa ini, lahir model kepemimpinan situasional yang memiliki makna jika efekttivitas kepemimpinan bergantung pada kecocokan antara karakteristik pemimpin dan situasi yang dihadapinya.
Pendekatan situasional berbeda dengan pendekatan behavioral, teori yang menggunakan pendekatan situasional antara lain model kepemimpinan kontigensi, model kepemimpinan situasional, path goal theory dan model kepemimpinan transformasional-transaksional.