Mohon tunggu...
Asda J Pandiangan
Asda J Pandiangan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen & Finance Enthusiast

Baru saja menyelesaikan pendidikan Master di Singapore Management University, saat ini menjadi Dosen di STIE Jayakarta

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mengapa Lira Turki Tumbang?

22 April 2022   18:25 Diperbarui: 22 April 2022   18:32 1969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Sebelum pemberlakuan mata uang Euro, kita mengenal mata uang Italia adalah lira. Dan ternyata mata uang ini memiliki akar sejarah yang sama dengan mata uang lira Turki. Berdasarkan sejarah Romawi Kuno, libra adalah satuan berat yang mengacu pada Troy pound perak. Mengingat besarnya pengaruh kekaisaran Romawi, penggunaan kata libra (kemudian berubah menjadi lira) menjadi umum di Eropa hingga Eurasia, termasuk Turki.

Fakta menarik: pound sendiri merupakan terjemahan dari libra, maka dari itu singkatan pound adalah lb.

Kembali ke topik awal, mengapa kinerja lira Turki sangat buruk di 2021 yang tumbang hingga 80% terhadap USD? Untuk menjawabnya, mari kita lihat apa yang terjadi di 2018 ketika TRY/USD merosot sekitar 75%. Saat itu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan praktis memegang kontrol atas Bank Sentral Turki (CBRT). Salah satu solusi yang Erdogan ambil (dan irasional) adalah memerangi inflasi yang sedang terjadi saat itu dengan justru menurunkan suku bunga. Setelah sempat  membaik, lira Turki kembali melemah ketika Covid-19 melanda dunia. Adanya ketidakpercayaan atas kredibilitas moneter Turki merongrong posisi mata uang nya.

Seiring dengan pemulihan ekonomi, inflasi pun melanda seluruh penjuru dunia di medio 2021. Dan saat beberapa negara mulai melakukan pengetatan kuantitatif dengan cara menaikkan suku bunga (Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat), Erdogan tetap teguh pada pendekatan yang tidak lazimnya. Bahkan kebijakan ini ditentang oleh ekonom dan gubernur bank sentralnya sendiri, sehingga sudah lebih dari tiga kali Erdogan mengganti otoritas bank sentral di 2021.

Erdogan, dengan persepsi negatifnya terhadap suku bunga tinggi dan harapan current account positif dengan ekspor yang semakin kompetitif, terbukti berjudi dengan konsekuensi pahit. Inflasi year-on-year Maret 2022 Turki mencapai 61% (sebelumnya 54% di Februari 2022), tertinggi sejak tahun 2002. Permasalahan utama lainnya adalah tingkat pariwisata yang belum pulih total, dan ongkos material barang yang diproduksi (yang nantinya diekspor) semakin tinggi, plus biaya tenaga kerja yang otomatis menyesuaikan inflasi. Meskipun intervensi bank sentral akhirnya sedikit mengerem keterpurukan lira, dengan tidak ada tanda-tanda perubahan arah moneter, hal ini dipercaya tidak akan meyakinkan pelaku pasar akan terjadinya rebound yang permanen.

Lantas apa yang kita bisa pelajari dari kasus ini? 1) Kredibilitas: Mandat utama CBRT adalah stabilitas harga, dengan kata lain inflasi yang terkontrol. Tapi kebijakan moneter nya justru sangat kontradiktif, hanya karena orang nomor 1 di Turki menghendaki hal yang sangat irasional. Ini terkait dengan permasalahan kedua; 2) Independensi: Otoritas bank sentral tidak bisa menjalankan fungsinya dengan independen dan harus mengikuti sikap presiden. Penolakan artinya pencopotan

Inflasi dan depresiasi bukan hal yang independen satu dengan yang lain. Dengan depresiasi lira, Erdogan menginginkan surplus current account melalui ekspor yang lebih kompetitif. Dan dalam jangka pendek menjadi solusi untuk menguatkan nilai tukar lira. Namun sang Presiden mengacuhkan fakta bahwa ekspor membutuhkan material dari impor dan tenaga kerja. Hal ini justru menjadi spiral dan makin memperburuk inflasi. Dan ketika inflasi itu menjadi nyata, ultimate killer nya adalah pemotongan suku bunga. Pasar akhirnya kehilangan kepercayaan, dan flight to safety dengan menjual lira.

Bagaimana kelanjutan krisis inflasi dan mata uang ini sepenuhnya ada di tangan Pemerintah Turki, dalam hal ini spesifik mengacu kepada Erdogan. Sementara ini bank-bank di Turki masih mampu untuk menyangga perekonomian Turki, dan penduduk Turki sendiri masih belum hliang kepercayaan terhadap bank mereka. Tapi sampai sejauh mana ini akan bertahan, masih menjadi pertanyaan semua pihak.

Bagaimana perbandingan dengan Indonesia?

Indonesia dan Turki sama-sama mengadopsi rezim nilai tukar mengambang (floating exchange rate), yang artinya nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran. Turki mungkin memiliki infrastruktur ekonomi yang lebih baik dari Indonesia, tapi blunder dalam kebijakan moneter, kegagalan dalam mengantisipasi problem global (masalah supply chain, inflasi) mengakibatkan ekspektasi pasar jatuh.

Di lain pihak, sejak 1999 Bank Indonesia memasuki babak baru dengan menjadi otoritas dengan independensi penuh, tanpa intervensi Pemerintah. Mandat utamanya adalah mencapai kestabilan nilai rupiah, meliputi dua aspek: aspek inflasi dan aspek nilai tukar. Sejak Krisis Moneter 1997, Indonesia tidak pernah lagi mengalami guncangan yang signifikan dan hal ini bisa menjadi indikator sederhana bahwa perubahan melalui UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia telah memberi kerangka positif atas arah ekonomi dan moneter kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun