Mohon tunggu...
ARZETTI BILBINNA N
ARZETTI BILBINNA N Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Airlangga

Suka bikin konten di Channel YouTube @Arzetti Bilbinna N

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Di Balik Jubah dan Janji Berkah: Tirani Seksual Sang Pemimpin

6 Mei 2025   13:30 Diperbarui: 14 Mei 2025   20:27 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan seseorang yang disanjung, dijadikan sebagai teladan masyarakat yang tentunya sering dielu-elukan pembawa berkah, penuntun jalan, dan penghapus dosa ternyata menyimpan mimpi buruk di balik jubah sucinya. Di balik mimik teduh dan doa yang mengalun lirih, di dalamnya tersimpan tirani yang sedikitpun tidak terucap, namun menjadi pemantik kekerasan seksual yang dibungkus dengan dalih spiritual. Yes, welcome di realita pahit yang kadang susah dicerna akal hingga batin. Ini bukan cerita fiksi ataupun sulap, bukan pula drama kolosal. Ini nyata! Di negeri yang menjunjung tinggi adab dan agama, nyatanya menjadikan peluang tirani busuk pemimpin yang menjadikan “iman” sebagai senjata untuk menaklukkan tubuh dan jiwa orang lain dengan dalih agama dan nama Tuhan. Sungguh miris bukan?

Sehubungan dengan kejadian ini, mengingatkan dengan adanya Film dari tetangga sebelah (Malaysia) dengan judul ”Bidaah” yang paling mengesankan dan menjengkelkan adalah peran dari Walid. Walid merupakan pemimpin pondok yang banyak melakukan penyelewengan ajaran agama. Film ini datang seperti tamparan keras di tengah masyarakat yang sering terlalu sibuk memuliakan wujud saja tanpa sempat menguliti isinya seperti apa. Dengan mengangkat isu kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama, Walid bisa dikatakan bukan hanya film semata, melainkan sebagai cermin yang jujur tanpa filter. Cukup menyakitkan memang, seperti halnya kita yang bercermin dan nggak suka lihat pantulan wajah sendiri.

Film ini dikemas dengan cerita yang ringan, dengan mengisahkan pada sosok guru agama yang mengungkap praktik kejahatan seksual di sekolah berbasis keagamaan. Konflik yang diangkat juga cukup menarik kegeregetan penonton, akan tetapi yang menjadi gong-nya adalah tentang keberanian filmnya menyoroti dua hal yang biasanya dianggap “keramat” yaitu tentang agama dan pemimpin. Lewat gaya naratif namun memberikan kesan yang tegas, film ini secara tersirat mengandung pertanyaan: sejak kapan kita membiarkan seseorang menyembunyikan nafsunya di balik jubah? Dalam perkembangan film ini, menjadi sangat relevan dengan kasus nyata yang sedang viral, di mana seorang ketua yayasan pondok memanipulasi santri-santrinya dengan dalih “berkah dari air liur”? Bisa dibaca di artikel Tempo “Ketua Yayasan Pesantren di Lombok Barat Cabuli Belasan Santri Sejak 2015.” dari https://www.tempo.co/hukum/ketua-yayasan-pesantren-di-lombok-barat-cabuli-belasan-santri-sejak-2015-1237527Secara tidak langsung, hal yang bisa dipetik dari adanya film ini adalah fiksi yang meramalkan realita. Dalam dunia nyata, secara tidak sadar sebenarnya kita sedang berhadapan dengan pemimpin karismatik yang menjual kemuliaan lewat cairan tubuhnya sendiri alias praktik absurd yang mengerikan, tapi nyata adanya.

Selain itu, film ini juga menyoroti bagaimana sistem tutup mata terhadap suara korban. Korban dianggap berdosa karena berani bicara dan akan langsung dianggap salah bahkan sebagai penipu, sedangkan pelaku malah mendapat perlindungan atas nama reputasi lembaga atau yayasan. Di balik Walid, secara sadar sebenarnya kita bisa melihat bagaimana kekuasaan dibungkus do’a, dan kebenaran dikubur di balik kata “aib” yang sudah seharusnya ditutupi, bahkan dibungkam secara paksa. Dalam hal ini, mengindikasikan bahwa iman dapat diperjualbelikan, dan keberkahan nyatanya tidak akan pernah datang dari pemaksaan, apalagi pelecehan yang dilakukan pimpinan sekaligus. Film ini membongkar bagaimana institusi bisa berubah secepat kilat menjadi alat dominasi, ketika kita berhenti berpikir kritis. Dalam hal ini, belajar dari film ini bahwa tidak semua yang bersorban itu suci dan tidak semua yang berceramah itu benar. Semuanya tetap butuh dicerna dan dikritisi, jangan langsung menerima ajaran yang memang sudah dirasa menyeleweng dari awal. Mengkritisi tidak apa, asal tidak sarkas dan tetap pada tempatnya.

Menelisik dari kasus Air liur yang terjadi pada berita tempo, sebenarnya secara akal dan logika sudah aneh dilakukan. Sesuatu yang biasanya tak lebih dari cairan tubuh biasa, tiba-tiba naik derajat menjadi “jalan menuju kemuliaan”. Kok bisa? Hubungannya dari mana? Dalam hal ini setidaknya, itulah yang diyakini atau lebih tepatnya, dipaksa diyakini oleh para santriwati di sebuah pondok pesantren yang sedang ramai diperbincangkan. Di balik dinding tempat ibadah yang seharusnya suci, ada luka yang ditorehkan atas nama berkah dan Tuhan. Kasus ini mungkin terdengar tak masuk akal bagi sebagian orang. “Masa iya? Semudah itu bisa percaya mendapatkan kemuliaan hanya dengan minum air liur?”. Sungguh aneh memang, bujuk rayu pemimpin tirani ini yang pada kenyataannya, dalam melakukan manipulasi spiritual ini benar-benar terjadi. Bahkan lebih parahnya lagi, tidak hanya melibatkan pemanfaatan kepercayaan, tapi juga pelecehan seksual, bahkan melakukan pemerkosaan. Sungguh bejat memang.

#Dari Ustaz Menjadi Predator

Kasus ini, dilakukan oleh pelaku yang bukan dari kalangan orang biasa. Dia merupakan pemimpin yayasan pondok pesantren dan menjadi tokoh kharismatik yang dikenal luas sebagai pemimpin spiritual. Dengan outfit khasnya yang berjubah panjang, suara lembut, dan kalimat-kalimat agamis yang sudah dirangkai supaya terdengar manis, berhasil menumbuhkan dan membangun citra sebagai orang suci alias orang yang katanya bisa jadi “perantara keberkahan dengan Tuhan”. Dalam pengakuan para korban yang dilansir dari berita tempo, sang pemimpin sering menyampaikan bahwa mereka akan naik derajat di hadapan Tuhan, hidup lebih berkah dan sukses, dengan “mengimani” dan “menghormati” air liurnya. Cairan itu dianggap sebagai bentuk “berkah langsung” yang pada realitasnya sangat menjijikan untuk dibayangkan. Namun tetap dilakukan santri dengan dalih keberkahan yang tentunya semua itu dibungkus dalam spiritualitas. Dari yang awalnya cuma minum air liur, berubah menjadi pijatan, lalu mencium tangan, dan berujung pada pelecehan fisik lainya yang lebih parah.

#Pertanyaan besar: Kenapa Bisa Terjadi?

Kok bisa? Kenapa ada yang percaya? Jawabannya rumit, tapi juga sederhana: kuasa dan ketakutan yang mengelilingi. Mayoritas santri datang dari latar belakang keluarga sederhana, bahkan keterbelakangan entah dari segi ilmu ataupun finansial yang pastinya semakin dimanfaatkan oleh kebejatan pemimpin pondok. Di hadapan mereka, figur pemimpin pondok adalah seseorang yang dihormati, tidak boleh dibantah. Selain itu, juga adanya doktrin ketaatan dibungkus dalam ajaran agama yang cukup sakral, bahkan jika hanya sekedar mempertanyakan dianggap sebagai dosa, dan melawan dianggap melawan hukum Tuhan. Lebih dari itu, pelaku menggunakan metode yang sistematis dan terstruktur. Dia tidak akan serta-merta melakukan kekerasan secara langsung, melainkan akan mencuci otak perlahan, membuat korban merasa bahwa mereka “dipilih”, jika ada penolakan maka akan kehilangan perlindungan spiritual. Bentuk ini bukan hanya sekadar kejahatan seksual, melainkan bentuk manipulasi psikologis dan spiritual yang sangat kejam, namun kerap terjadi dan banyak memakan korban.

#Ketika Air Liur Dijual Sebagai Tiket ke Surga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun