Mohon tunggu...
Aryo Nugraha
Aryo Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - A. Nugraha

Seorang yang terus belajar melihat dan mendengar. Yakin bahwa keduanya merupakan anugerah yang mesti terus diasah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bagaimana Jurnalisme Lingkungan Turut Menjadi Anjing Penjaga?

14 Agustus 2022   23:56 Diperbarui: 15 Agustus 2022   00:25 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://stephenleahy.net/tag/environmental-journalist/)

Oleh : Aryo Nugraha

Indonesia, menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) disebut sebagai negara dengan biodiversitas tertinggi kedua di dunia. Itu baru di darat saja. Jika digabung dengan keanekaragaman hayati yang ada di laut, maka Indonesia adalah yang pertama. Kekayaan dan anugerah yang tak semua negara di dunia ini mampu miliki.

Dengan sumber daya alam yang begitu besar, pemerintah sebagai pihak yang mendapat mandat dari rakyat semestinya mampu dimanfaatkan dengan baik untuk kembali kepada pakem: ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Maka agenda pembangunan yang dicanangkan mesti berdasar kepada kesejahteraan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan.

Namun faktanya, negara dan pemerintah masih cenderung abai terhadap dua poin yang telah disebutkan. Padahal isu kemiskinan atau ketimpangan yang hadir karena pembangunan yang tidak tepat sasaran beserta krisis lingkungan yang disebabkan daya dukung alam yang menurun merupakan dua fenomena krusial yang saling berkelindan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2021 mencapai 26,5 juta orang atau 9,71% dari total penduduk Indonesia. Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) juga memprediksi tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta penduduk.

Lalu pada aspek krisis lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) Indonesia mengalami peningkatan pada 2021. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, skor IKLH pada tahun lalu sebesar 71,43 poin atau meningkat 1,16 poin dari 70,72 poin pada 2020. Seharusnya ini menjadi pengingat bagi negara untuk segera melakukan evaluasi, bukan malah membuat krisis makin menjadi-jadi.

Ketika pemerintah mewacanakan pembangunan yang malah berujung konflik dengan masyarakat terutama disebabkan rencana penggusuran lahan, pada akhirnya mengakibatkan masyarakat kehilangan mata pencaharian yang juga berarti meniscayakan kerusakan atas lingkungan. Deforestasi hutan, reklamasi laut, okupasi tanaman monokultur, hingga praktik pertambangan menjadi opsi yang dipilih atas nama pembangunan namun menempatkan rakyat sebagai korban dalam pelaksanaannya.

Sebutlah perjuangan nelayan kodingareng yang pada 2020 lalu berada pada eskalasi konflik melawan PT. Royal Boskalis yang berencana melakukan kegiatan tambang pasir laut juga pemerintah Sulawesi Selatan yang mencanangkan program reklamasi Makassar New Port di wilayah tangkap nelayan serta rumah bagi ekosistem laut. Atau yang terjadi di Wadas antara masyarakat dengan pemerintah Jawa Tengah terkait penetapan lokasi pengadaan tanah bagi Pembangunan Bener yang akan mengabaikan ruang penghidupan serta sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Akarnya sama, paradigma pembangunan yang tidak memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.

Kekeliruan ini mungkin dikarenakan negara memilih menggelar ‘karpet merah’ sebagai jalan masuk investasi demi pertumbuhan ekonomi yang begitu diagung-agungkan. Kecenderungan ini membentuk jaring-jaring oligarki. Pebisnis dan pemangku kebijakan sandar-menyandar menciptakan ragam kebijakan serta bentuk perizinan agar industri ekstraktif−yang terbukti berperan besar merusak lingkungan−dapat dengan leluasa tumbuh pesat layaknya tanaman gulma. Parasit dan merusak.

Kerusakan lingkungan akibat industri ekstraktif nampaknya belum dan akan terus terjadi. Penggunaan sumber daya alam secara destruktif dan masif, yang mana dimotori oleh segelintir elit telah membentang kegentingan di hampir semua aspek kehidupan. Bencana ekologis, krisis iklim, degradasi atas status kesehatan hingga pangan yang memburuk menjadi kemungkinan yang takkan lagi bisa terelakkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun