Mohon tunggu...
Aryanto Husain
Aryanto Husain Mohon Tunggu... Freelancer - photo of mine

Saya seorang penulis lepas yang senang menulis apa saja. Tulisan saya dari sudut pandang sistim dan ekonomi perilaku. Ini memungkinkan saya melihat hal secara komprehensif dan irasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Vaksinasi dan Prisoner's Dilemma Game

12 Januari 2021   08:30 Diperbarui: 13 Januari 2021   07:37 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gong! CoronaVac, vaksin Covid-19 produksi perusahaan Sinovac akhirnya memperoleh izin penggunaan darurat atau EUA dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Maka sesuai rencana, vaksinasi Covid-19 akan dimulai 13 Januari mendatang. 

Isu vaksinasi cukup menyita energi publik belakangan ini, mirip dengan merebaknya isu pandemi COVID-19 di awal tahun lalu. Jika Januari tahun lalu hadir kecemasan dan ketakutan yang dibayang-bayangi keputusasaan, sekarang bertambah dengan ketidakpercayaan  dan saling menyalahkan. Semua kembali menjadi mendadak. Mendadak menjadi ahli medis, jadi dokter, ahli kesehatan, ahli vaksin, pengamat, hingga pegawai kesehatan. 

Akibat Halo Effect ini, semua merasa berhak bicara tentang vaksin.  Ada yang menyuntikkan ketidakpercayaan terhadap vaksin, sebagian lagi saling menyalahkan soal vaksinasi. Tidak sedikit berita hoax yang berseliweran. Bahkan kelompok-kelompok anti vaksin mulai bermunculan di beberapa tempat. Kondisi ini harus dihentikan agar tidak berujung pada histeria massal dan berujung pada kegagalan vaksinasi. 

Teori permainan

Vaksinasi menjadi harapan kesekian kalinya menghentikan pandemi COVID-19.  Tujuan utamanya untuk menciptakan kekebalan komunitas atau herd immunity. Dengan vaksinasi makin banyak orang yang kebal terhadap virus maka pandemi berangsur-angsur bisa berakhir.

Sebelumnya isu herd immunity diwacanakan terbentuk sendiri secara alamiah. Seseorang terlebih dahulu terinfeksi virus dan kemudian bila sembuh, tubuhnya bisa memiliki antibodi tertentu yang membuatnya kebal terhadap virus tersebut. Wacana itu mengalami perdebatan karena tidak ada jaminan berapa banyak orang yang harus jadi korban. 

Vaksinasi menjadi fokus perhatian saat pandemi tetap merebak di tengah ketidakpastian. Hingga awal 2021 belum ada tanda-tanda pandemi mereda. Sambutan Kanselir Jerman, jauh-jauh di hari  di awal tahun ini menyiratkan ketidakyakinan ini. Tidak ada pilihan lain dunia harus divaksinasi untuk segera menghentikan pandemi. Vaksin harus menjadi prioritas awal tahun ini.

Meminta masyarakat disuntik vaksin menjadi kehebohan sendiri. Setiap orang saling menunggu yang bersedia di awal. Kondisi ini digambarkan sepasang suami isteri peneliti, Anand dan Bauch dalam artikelnya The Pandemi is a Prisoner's Dilemma Game, seperti permainan. Berkaca dari teori permainan ini, satu individu tergantung lainnya. Masing-masing saling menunggu dan ingin mengambil manfaat. Ada yang mencari alasan tidak ingin disuntik atau paling tidak bukan yang pertama di suntik. 

thestreet.com
thestreet.com
Kengganan terhadap vaksinasi ini dilematis. Orang sebetulnya jenuh dan bosan dengan masker yang mengganggu atau mencuci setiap saat setelah memegang sesuatu. Walaupun ada orang yang sudah terbiasa, sebagian individu tetap menganggap ini merepotkan. Namun mereka tetap ingin menunggu ada orang lain divaksin lebih dahulu. Hal ini menuju pada sebuah kondisi yang tidak bisa dioptimalkan lagi, kondisi Nash Equilibrium. 

Di saat bersamaan ada fakta lain di lapangan. Orang-orang kerumunan tanpa jarak, tidak dilindungi masker dan tidak ada upaya mencuci tangan setelah saling bersentuhan. Uniknya, tidak ada berita penjangkitan dan kasus-kasus positif yang dilaporkan. 

Belum lagi informasi terkait vaksin sendiri. Polemiknya meluas mulai dari produksi hingga efek samping. Para penganut teori konspirasi menyebarkan isu produksi vaksin dilakukan dengan tujuan tertentu. Ada juga tentang perdebatan merk vaksin. Lainnya terkait sentimen kebangsaan, kenapa vaksin yang dikembangkan di negara A yang digunakan, bukan negara B atau C. Isunya kian kompleks dengan hadirnya informasi berantai tentang efek samping vaksin meski sudah mendapat legalisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun