Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Konsekuensi Politik dari Kontestasi Pilkada: Refleksi Awal atas Dinamika Pilkada 2024

28 November 2024   15:00 Diperbarui: 28 November 2024   16:47 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilkada sebagai proses demokrasi lokal merupakan salah satu wujud nyata dari penerapan sistem politik demokratis di Indonesia. Dalam teori politik, kontestasi elektoral menjadi arena di mana berbagai aktor politik berkompetisi untuk meraih legitimasi kekuasaan melalui dukungan rakyat. Merujuk pada pemikiran Giovanni Sartori, demokrasi bukan hanya soal partisipasi, tetapi juga kompetisi yang terstruktur. Selayaknya kompetisi, baik politik maupun non-politik, selalu ada pihak yang menang dan kalah. Pilkada tidak terkecuali.  Namun, kemenangan dan kekalahan dalam pilkada memiliki konsekuensi yang jauh melampaui sekadar angka-angka perolehan suara; ia berdampak langsung pada stabilitas sosial, arah kebijakan, serta kualitas pemerintahan di daerah. Pilkada dengan segala kompleksitasnya menjadi ajang penyaluran aspirasi rakyat sekaligus ujian terhadap kedewasaan politik suatu daerah. 

Dinamika Pilkada 2024: Menang dan Kalah Sebagai Realitas Demokrasi

Pilkada 2024, sebagaimana terpantul dari hasil quick count sejumlah lembaga survei, telah memperlihatkan gambaran siapa yang unggul dan siapa yang tertinggal dalam perolehan suara. Meski demikian, hasil resmi melalui real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih dinantikan untuk memvalidasi data sementara tersebut. Dalam konteks ini, "teori legitimasi" Max Weber relevan untuk dipertimbangkan. Weber membedakan tiga tipe legitimasi: "tradisional, kharismatik, dan legal-rasional". Di era demokrasi modern, hasil elektoral adalah fondasi legitimasi legal-rasional bagi seorang pemimpin. 

Sedangkan menurut David Easton menekankan bahwa legitimasi dalam sistem politik bergantung pada dua hal: penerimaan masyarakat terhadap hasil politik dan kemampuan institusi untuk mengelola tuntutan serta distribusi sumber daya. Di Daerah, penerimaan terhadap hasil pilkada akan menentukan seberapa kuat legitimasi pemimpin terpilih.

Namun, konsekuensi dari kontestasi pilkada tidak hanya terbatas pada aspek formal hasil suara, melainkan juga oleh persepsi keadilan dalam proses elektoral. Keberadaan lembaga survei yang menyajikan hasil quick count menambah dimensi baru dalam proses ini. Quick count, meskipun kadangkala akurat, tapi ia bukanlah hasil resmi. Namun, hasil ini dapat membentuk persepsi publik lebih awal, menciptakan ekspektasi, dan dalam beberapa kasus, menimbulkan ketegangan ketika hasil resmi berbeda. Kondisi ini relevan dengan konsep "legitimasi elektoral" yang dikemukakan oleh Robert Dahl, di mana legitimasi tidak hanya bergantung pada hasil akhir tetapi juga pada proses yang dianggap transparan dan akuntabel.

Secara praktis bagi pemenang, kemenangan dalam Pilkada membawa tanggung jawab besar untuk memenuhi ekspektasi publik yang telah memberikan dukungan. Isu-isu seperti penurunan kemiskinan, peningkatan sektor pariwisata, dan tata kelola daerah/kota dan bantuan sosial akan menjadi ujian utama bagi pemerintahan baru. Mengacu pada teori "kontrak sosial" Jean-Jacques Rousseau, hubungan antara pemerintah dan masyarakat didasarkan pada kontrak tidak tertulis yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.

Sebaliknya, bagi pihak yang kalah, kekalahan sering kali tidak hanya menjadi akhir dari kompetisi politik, tetapi juga awal dari oposisi yang konstruktif atau destruktif. Oposisi konstruktif dapat memperkuat demokrasi dengan menyediakan pengawasan terhadap pemerintah, sebagaimana diungkapkan oleh "teori checks and balances" Montesquieu. Namun, oposisi destruktif, seperti penyebaran disinformasi atau delegitimasi hasil pemilu, berpotensi memecah belah masyarakat dan melemahkan stabilitas politik lokal.

Polarisasi Pasca-Pilkada: Antara Rekonsiliasi dan Perpecahan

Salah satu tantangan terbesar pasca-Pilkada adalah bagaimana menciptakan rekonsiliasi politik dan sosial di tengah masyarakat. Dalam beberapa kasus, seperti yang dijelaskan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya "The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century", demokrasi elektoral sering kali disertai dengan polarisasi yang mendalam. Polarisasi ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menghambat proses pembangunan dan mengurangi efektivitas pemerintahan.

Pilkada yang kompetitif sering kali meninggalkan jejak polarisasi yang dalam tersebut. Polarisasi ini bukan hanya fenomena sosial tetapi juga politik, di mana masyarakat terfragmentasi dalam blok-blok yang berlawanan. Konflik horizontal di tengah masyarakat dapat diperburuk oleh elit politik yang gagal menunjukkan kepemimpinan yang inklusif. Dalam beberapa kasus di daerah, berbagai narasi yang muncul sebelum dan sesudah pilkada dapat memperkuat atau melemahkan kohesi sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun