Mohon tunggu...
Arya Matoa
Arya Matoa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tell me that you'll open your eyes...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berantas Mitos "Budaya Asli Indonesia"!

12 Januari 2012   09:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:59 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dunia maya, terutama di Kompasiana, bertebaran artikel yang mengagung-agungkan "budaya asli Indonesia".  Pengagungan ini menurut kalangan pendukungnya adalah hal sakral nan kudus, sebagaimana kudusnya konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dalam konteks yang berbeda. Bagi kelompok fanatik ini, fenomena banyaknya orang berjilbab dewasa ini adalah bentuk "Islamisasi" atau, lebih sarkastis lagi, "Arabisasi", yang dianggapnya jilbab atau hijab adalah serapan dari budaya Arab di kawasan Timurt Tengah sana (yang sebenarnya, dari sudut Asia, yang lebih tepat adalah Asia Barat). Di sisi lain, fenomena sebaliknya, seperti maraknya orang pakai rok mini atau baju seksi terbuka disebut-sebut sebagai "westernisasi" alias pengaruh Barat, yang juga tak sesuai dengan kultur atau budaya Indonesia. Benarkah demikian? Lalu bagaimana kita atau, lebih tepatnya kalangan ini, menjelaskan tentang fenomena historis rimpu (tudung dengan bahan dasar sarung semodel burqa yang dipakai kalangan wanita) di Lombok pada abad 15? Sebaliknya, bagaimana pula mereka menjelaskan gaya busana suku Papua yang hanya berkoteka (bagi lelaki) dan mengenakan rok jerami (bagi perempuan) sejak berabad-abad lalu? [caption id="attachment_155182" align="aligncenter" width="300" caption="Rimpu, pakaian adat Bima-Dompu sejak berabad-abad lalu. Sumber: www.sofianthahir.blogspot.com"][/caption] Jika mereka menyandarkan pada budaya candi Budha atau Hindu-nya Majapahit atau Sriwijaya, tidakkah itu bisa disebut, dengan logika mereka, adalah Indianisasi? Yakni pengaruh budaya dari India yang erat mempengaruhi budaya Nusantara di masa lampau. [caption id="attachment_155183" align="aligncenter" width="300" caption="Koteka yang merupakan budaya tradisional Papua. Inikah budaya asli Indonesia?"]

1326359035416745125
1326359035416745125
[/caption] Lagipula dengan ribuan pulau dan ribuan budaya di gugusan kepulauan Nusantara ini, masih ada problem utama untuk menjelaskan secara tegas yang mana yang merupakan "budaya asli Indonesia"? Baju kurung Makassar? Kemben Jawa atau koteka Papua? Sementara proses kita menjadi suatu bangsa bernama Indonesia rasanya masih belum tuntas.Meski secara politis telah dinyatakan rampung pada saat Proklamasi Kemerdekaan 1945 saat Indonesia didefinisikan sebagai seluruh wilayah bekas Jajahan Belanda, yang memberikan sempadan secara geografis. Kendati memutus hubungan budaya dengan puak Melayu di Sabah atau Serawak (notabene di satu pulau Kalimantan) yang dikuasai Inggris yang kemudian dimasukkan dalam wilayah Kerajaan Malaysia. Mari berpikir mendasar secara jernih. Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara belajar. Artinya, tak ada budaya yang statis. Budaya itu dinamis karena berasal dari proses belajar di lingkungan baik level kampung atau kampus, dan negara serta antarnegara. Sejatinya, budaya tak bisa diklaim secara sepihak. Ia mengalir dan merembes laksana air, dan bisa bermuara di mana saja. Intinya, tak ada itu yang namanya budaya asli Indonesia, yang mana hanya merupakan mitos tanpa logika. Di sisi lain, mitos tak berdasar ini cenderung dilegitimasi oleh sebagian kalangan untuk memperkuat dalil atau argumen mereka guna menyerang kelompok lain. Kelompok liberal sekuler memanfaatkan isu "Arabisasi" untuk menyerang kelompok Islamis di Indonesia, dengan tujuan (secara politis) pertarungan pemilu lima tahunan dan (secara sosiologis) memperluas pengaruh sekularisme. Kelompok Islamis juga memanfaatkan isu "Westernisasi" untuk menerjang lawan tradisional sekaligus politisnya, kalangan sekuler. Sebuah pertarungan ideologis berusia panjang sejak dulu yang salah satu puncaknya adalah pada sidang Konstituante 1945 yang berujung pada pencoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta. Jika kita mau sehat berpikir, pertarungan ini hanya melelahkan energi bangsa. Ini karena mitos "budaya asli Indonesia" tersebut. Secara diplomasi internasional, mitos tak berdasar ini juga menyulitkan untuk mendefinisikan apakah rendang itu benar-benar khazanah kuliner Indonesia atau sebenarnya rumpun besar khazanah kuliner Melayu, yang artinya dapat diklaim juga oleh Malaysia atau Brunei. Pada akhirnya ini berasal dari mitos tersebut di atas. Jika kita mau membuka mata dengan akal sehat, mitos seperti ini layak diberantas. Mari bersatu dan serukan satu kata untuk mitos budaya asli Indonesia: BERANTAS"!!! Jakarta, 12 Januari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun