Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Catatan Tepi) Aku antara Ningrat dan Jawara

17 Juni 2017   21:49 Diperbarui: 18 Juni 2017   17:59 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.pexels.com

Sebagian kalangan teramat peduli pada garis keturunan. Ada yang menyimpan catatan silsilah dirinya yang ditarik ke belakang hingga menemukan dirinya masih keturunan raja anu, habib Anu, abu ini, raden itu. Bahkan ada yang bersikukuh harus menikah dengan orang dari kalangannya saja agar warisan keilmuan atau kebesaran nama keluarga tidak terputus dan tetap terjaga.

Sebagai keturunan orang biasa, sedikit-banyak saya juga mencari tahu siapa sih nenek moyang saya, apa juga orang biasa? Atau justru saya ini keturunan ningrat atau ajengan yang derajatnya lebih tinggi dari beberapa kawan yang mengaku keturunan raja atau sultan.

Dalam pencarian itu, saya mendamparkan diri pada satu tempat bernama Desa Ngawur atau beberapa orang menyebutnya sebagai Desa Kentengsari. Lucu namanya, tapi betapa serius untuk mencapai ke sana. Tidak ada jembatan pada ujung jalan dan harus menyeberangi Sungai Tuntang yang airnya coklat karena bebatuan besarnya ditambang oleh beberapa kaki tangan bisnis untuk dijual ke kota.

Desa Ngawur terletak di tengah hutan jati, di sinilah konon moyang ibu saya lahir dan berasal. Turun-temurun jabatan kepala desa jatuh ke klan keluarga Ibu. Kakek buyut kakung kami seorang sinder hutan yang dengan kesaktiannya memberi jarak bagi para pencuri kayu jati untuk berhadapan langsung dengannya. Begitu juga dengan kakek kakung kami yang memiliki jabatan serupa, penguasa hutan dalam administrasi wilayah kehutanan Kedungjati.

Meskipun di tengah hutan, Desa Ngawur saat saya datang dengan Ibu boleh dibilang cukup maju. Rumah-rumah dalam bentuk fisik cukup layak. Konon desa itu kebanyakan dihuni kaum lelaki karena kebanyakan perempuan di sana mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga kerja di Timur Tengah. Aliran uang ke kampung tampak tecermin dari kondisi desa. Kepala desa kala itu adalah sepupu Ibu bernama Pak Asrap dan dalam kunjungan pertama saya, kami menginap di rumahnya.

Suatu sore di hari pertama suara kentongan berbunyi tanda warga diminta berkumpul dan disampaikan lewat mulut ke mulut. Mbah Carik ingin semua warga berkumpul di rumahnya yang memiliki pendopo sederhana yang cukup luas.

Mbah Carik adalah sekretaris desa, juga masih kerabat keluarga dengan Ibu. Ia berumur sekitar tujuh puluhan dengan postur saat itu tampak sedang mengalami sakit. Saya bertanya kepada Ibu dan orang yang berada di sekitar kami kenapa Mbah Carik setua itu tak diganti saja mengingat sekretaris desa perlu ketelitian dalam administrasi desa. “Jabatannya melekat seumur fisiknya. Jika masih mampu, tak ada yang berani mengganti. Sudah aturan dari sananya!”

Mbah Carik yang tampak telah bungkuk keluar dari ruang tamu disambut warga yang duduk mengitar di dipan-dipan pendopo yang telah disiapkan. Baju batik biru dengan pin korpri ia kenakan. Di tangannya terselip dua benda. Pisang rebus yang masih berasap di tangan kanannya dan satu kaleng susu kental manis ada di genggaman tangan kirinya.

“Waah… Mbah carik mau kasih berkah nih, hayo siapa yang dapat? Ke aku aja ya mbah supaya sukses!” silih berganti riuh rendah warga berteriak riang menyambut Mbah Carik yang dengan kepala berambut putihnya melemparkan pandangan ke setiap sudut di mana warga-warga berkumpul. Mbah Carik tak mampu bicara lagi. Kesehatannya jauh menurun dan patut diduga ia akan berpamitan kapada semua warga sekaligus menandakan ia akan tak lama lagi menyerahkan jabatan carik ke orang yang disepakati.

Langkah lelaki tua itu gontai. Bagai pemimpin upacara yang menginspeksi pasukan, ia berkeliling pendopo tanpa sedikit pun bicara. Wajahnya polos dan senyum tersunggging di bibirnya kepada semua orang yang ia lewati. Sesekali ia berhenti di depan seorang warga memandang lama dan kemudian berlalu begitu saja. Pada saat itu, warga bersorak karena sebagian orang yang dipandangnya merasa apa yang ada di tangan Mbah Carik akan diberikan padanya.

“Hahaha… ojo gede rumongso, Mas!” riuh warga saat seorang lelaki telanjur menyodorkan tangannya ke arah Mbah Carik untuk menerima dua benda dari tangannya tetapi Mbah Carik kemudian berlalu begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun