Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ayah Baik vs Ayah Buruk: Sebuah Catatan Tepi

22 Januari 2016   13:58 Diperbarui: 22 Januari 2016   17:54 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - didikan seorang ayah sangat berpengaruh bagi mental si anak (Shutterstock)

Di satu rumah makan yang cukup ramai, duduk satu keluarga yang tengah menyantap makanan. Keluarga tersebut memiliki satu pasang anak lelaki dan perempuan berusia kira-kira delapan dan sepuluh tahun. Saat salah satu anaknya yang terkecil mengangkat gelas plastik berwarna orange berisi saus tomat. Tiba-tiba tangannya terganjal botol kecap dan gelas plastik itu terlepas dari tangannya sehingga terguling dan tumpah. Untungnya ia sigap dan menahan gelas itu untuk tidak menggelinding di atas meja.

Ceceran saus di atas meja terlihat merah dan dengan sigapnya lagi sang anak lelaki kecil itu segera mengambil satu boks berisi tissue, mengambil beberapa lembar dan berusaha menyeka ceceran saus itu dari samping piring tempat makannya. Tak dinyana, sang ayah menepis tangan kanan anak lelakinya itu yang berisi beberapa lembar tissue dan mengomel dengan entakan suara yang cukup mengherankan.

“Hei..bodohnya kamu ini. Ngapain kamu bersihin itu, panggil saja pelayan di sana itu. Kita di sini bayar, bukan gratis, gak usah lap sendiri, biar mereka yang kerjakan!”

Sang anak terkesiap. Ia meletakkan tissue di atas tumpahan saus tanpa berani meneruskan menyeka. Ayahnya melambaikan tangan kepada pelayan yang kebetulan melintas dan memintanya menyeka meja yang terkena saus tersebut. Saya mencoba mencuri pandang pada dua wajah yang ada di sebelah meja, wajah sang ayah dan anak lelakinya. Sang ayah tampak geleng-geleng kepala dan sang anak hanya menunduk.

“Lain kali hati-hati dan gak usah ambil kerjaan orang!” lalu mereka meneruskan makan setelah pelayan membersihkan meja dengan lap yang ia punya.

Dalam dua kejadian lain yang hampir sama, pada waktu berbeda, di dua ruang tunggu airport yang juga berbeda, saya pernah melihat dua orang ayah menangani anak balitanya yang menumpahkan satu kotak makanan yang berceceran karena terempas di lantai.

Ayah yang pertama spontan marah kepada sang anak lalu memandang tumpahan makanan di lantai yang berlanjut pada tangis anaknya yang memecah keheningan ruang tunggu. Sang anak memandangi makanannya, sementara ayahnya bergegas menarik anaknya pindah ke tempat lain dan duduk di kursi ruang tunggu, “Biar tahu rasa makananmu tumpah, dasar ceroboh!”

Sementara ayah yang kedua dalam kejadian yang hampir sama ketika sang anak balita menumpahkan satu kotak makanan yang terempas ke lantai, ia menoleh kepada anaknya yang siap menangis namun dengan cekatan ia menempelkan dua telapak tangannya di masing-masing pipi wajah anaknya sambil tersenyum, “Ayo kita bersihkan!” Mereka pun secara bersama memunguti makanan itu lalu bersama juga menempatkannya pada tempat sampah yang tersedia di dekat sana.

“Lain kali hati-hati, pegang yang erat, sekarang tahu rasanya kehilangan makanan kesukaanmu kan?” Lalu mereka duduk di tempat yang tak jauh dari sana, mereka sama-sama tertawa.

Sering kali ruang publik dianggap sebagai tempat yang menjadi tanggung jawab pengelolanya, bukan kita sebagai penggunanya. Pertanyaan saya pada saat-saat seperti itu, pelajaran apa yang akan diambil anak-anak mereka dari ayahnya saat dalam menghadapi kondisi tidak normal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun