Selepas azan ashar, roda mobil kami menyentuh bumi kecamatan si Rampog, sebuah bagian dari kabupaten Brebes Jawa tengah. Ketinggian tanah mencapai 1,800 meter diatas permukaan laut (Mdpl).Â
Hujan rintik menampar pipi, menusuk tajam bagai ujung jeruji besi yang dingin. Kabut tebal menyelimuti desa Kaliwadas, pekat, sehingga merubah hari yang seharusnya masih cerah menjadi laksana senja menjelang maghrib.
Sampai dilokasi ini saya masih tak percaya bahwa kami bertiga tengah mensasar gunung tertinggi kedua di pulau jawa karena nyaris semua gunung di Jawa saat PPKM tertutup untuk semua kegiatan pendakian.Â
Nyaris tak ada pilihan karena satu-satunya yang membuka diri adalah wilayah lereng gunung Slamet ini yang dikelola oleh para professional alam bebas yang tak dinaungi oleh dana negara.
Sebuah basecamp sederhana menyambut kami anak beranak. Untuk kepentingan keselamatan dan penanganan situasi darurat kami hanya berangkat bertiga dengan menyisakan satu bujang kami di rumah untuk personel tanggap darurat jika terjadi situasi tak diinginkan terhadap kami.
Perjalanan seperti ini memang saya idamkan, karena tak ada hal lain yang bisa mempersatukan saya sebagai seorang ayah dari dua lelaki muda dua puluh satu tahunan selama tiga hari tiga malam berada pada ikatan yang tak boleh terlepaskan selama perjalanan.Â
Lembah, Jurang, lereng, punggungan bukit dan hutan seolah memberi kesempatan kami semua untuk tidak menyimpan ego, apalagi ego saya sebagai seorang ayah.
"Sebenarnya untuk apa kita melakukan perjalanan ini, dek?" tanya saya kepada si bungsu, mahasiswa fisika semester lima.
"Melatih fisik dan belajar melatih mental bersama ayah," jawabnya singkat sambil tangannya yang kokoh menarik tas carrier kapasitas enam puluh liter  berwarna biru keatas tanah.
Membandingkan fisik lelaki usia lima puluh tahun lebih dengan dua pemuda usia awal dua puluhan adalah bagai langit dan bumi, tetapi entah mengapa mereka merasa bahwa saya mampu melakukan perjalanan tiga hari itu  meskipun tak sebugar mereka. Â